MENGENAL ISTILAH MAQAMAT DAN AHWAL DALAM ILMU TASAWUF
MENGENAL ISTILAH MAQAMAT DAN AHWAL
DALAM ILMU TASAWUF
Oleh Ubes Nur
Islam
Alternatif & Solusi - Fenomena para perambah thariqah (salikin) dan pengamal
tasawwuf ada yang masih dalam proses perlawatan atau perjalanan, mereka duduk
dan berdiri pada stasiun kejiwaannya masing-masing, yang kadang jika kita lihat
sepintas,mereka adalah unik. Ada diantara mereka yang sudah menduduki tingkat kewalian. Keadaan mereka adalah
fenomena tersendiri bagi masing-masing pribadinya. Dan kita merupakan pihak
lain, dalam pandangannya, adakalanya memandang mereka sebagai manusia
fenomenal.
Hampir di setiap kota-kota bahkan pelosok-pelosok
negeri kita ini mendapatkan pemandangan fenomena unik tentang mereka. Hal ini
bisa terjadi karena pemahaman sebagian kita sebagai masyarakat biasa, memandang
bahwa mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kekhususan-kekhususan yang
tidak dimiliki oleh orang biasa pada umumnya. Hal tersebut berupa hal-hal yang
ajaib atau aneh bagi akal sehat, yang sering disebut oleh masyarakat sebagai
karomah para wali.
Baiklah saya akan mengupas sekelumit tentang fenomena
mereka yang sedang mereka alami. Fenomena para perambah (salikin) atau pengamal
thariqah (tasawwuf) umumnya mengalami proses stages, dimana kedudukan hamba
(salik) dalam perjalanannya menuju Allah SWT melalui ibadah, atau kesungguhan melawan rintangan
(al-mujahadat), dan latihan latihan rohani (ar-Riyadhah) seringkali mengalami
situasi fenomenal berupa ahwal, yang jika ditilik dari pihak dirinya, maka dia
menjadi pribadi lain. Misalnya dia kasyaf atau musyahadat, mampu tembus
memahami alam-alam malakut atau dia bisa berjumpa dan berdialog dengan orang
yang sudah lama meninggal dunia.
Nah fenomena ini merupakan ahwal si pelaku dan
perambah thariqah, sebagai kemampuan yang dianugrahkan Allah untuknya, karena
kesungguhan dirinya dalam melakukan riyadhoh dan bermujahadah menjalankan
amaliyah thariqatnya. Kemampuan tersebut merupakan pengewejantahan dari
kegiatan-kegiatan maqamat, sehingga terwujudlah ahwal sebagai situasi solusif
untuk menjawab kebutuhan dirinya. Selanjutnya kita harus memahami
istilah-istilah ini dalam nuansa ilmu tasawwuf.
Definisi Maqamat
Kata maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti
tempat orang berdiri atau pangkal orang mulia. Maqamat adalah jalan yang harus
ditempuh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Munawwir A. Warson,
dalam Kamus Arab-Indonesia, Maqamat merupakan bentuk jamak mu’annats dari
kata maqam. Secara Bahasa berarti kedudukan, pangkat, dan derajat. Kemudan
istilah ini diartikan sebagai perjalanan panjang yang harus dilalui atau
ditempuh oleh orang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan dalam
bahasa Inggris istilah ini disebut dengan stages yang artinya tangga. Dalam
pandangan Ath-Thusi sebagaimana dikutip oleh Rosihon Anwar dan M. Alfatih bahwa
maqamat adalah kedudukan hamba (salik) dalam perjalanannya menuju Allah SWT
melalui ibadah, kesungguhan melawan rintangan (al-mujahadat), dan latihan
latihan rohani (ar-Riyadhah). Di antara tingkatan maqamat adalah: taubat, zuhud,
wara’, faqir, sabar, tawakkal, dan ridho
Dalam konsep tasawuf, seperti yang diungap oleh
Ibrahim Baisuni, dalam Nasy’at al-tashawwuf wa al-Islami, usaha mendekati Tuhan
itu dilakukan melalui beberapa maqamat (fase). Yang dimaksud di sini adalah
kedudukan hamba di hadapan Tuhan Yang Maha Esa dalam amaliah ibadah, mujahadah,
riyadhah, dan terputus dari selain Allah. Seorang hamba tidak akan menaiki dari
satu maqam ke maqam lainnya sebelum terpenuhi hukum-hukum maqam tersebut. Sebagai
contoh: siapa yang tidak bertobat, maka tidak sah untuk ber-zuhud. Dalam teori
yang lain disebutkan, bahwa rangkaian maqam yang mesti dilalui seorangsalik,
yaitu : taubat, zuhud, syukur, sabar. Ridha, tawakkal, khalwah, shuhbah,
dan dzikir, oleh karena itu Maqamat adalah lawatan perjalanan yang dilalui oleh
si salik. Hal itu menurut sebagian
pendapat harus melalui hal berikut ini, antara lain :taubat, wara’i, zuhud,
ridha, sabar dan tawakkal
Para ahli tasawuf berbeda pendapat mengenai susunan
tingkatan-tingkatan maqamat (station-station). Dalam kaitan ini, Abu Nashr as-Sarraj
ath-Thusi dalam kitab Al-Luma’ fi al-Tashawwuf, menyebutkan tujuh maqam secara
berurut, yaitu: taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakal, dan ridla. Abu Hamid al-Ghazali merangkai susunan
sebagai berikut: taubat, sabar, faqr, zuhud, tawakal, mahabbah, ma’rifat, dan
ridla. Beliau sebenarnya tidak secara eksplisit menjelaskan urutan-urutannya.
Dalam bahasan ini Imam Ghazali menyebutkan dalam kitabnya Ihya ’Ulumuddin,
jilid IV.
Dalam Versi Lain Runtutan Maqamat itu adalah : taubat,
juhud, sukur, sabar, rido, tawakkal, khalwat, suhbah,dan zikir. menurut Rosihon
Anwar, Perbedaan ini timbul karena adanya perbedaan pengalaman rohaniah
masingmasing ulama sufi. Sebagai perjuangan pendakian menuju Tuhan, mungkin
awal dan akhir diketahui, tetapi jumlah dan perincian yang sesungguhnya dari
tiap langkah yang harus diambil serta ciri-ciri utama jalan yang ditempuh
bergantung pada si pendaki sesuai pengalaman kerohaniannya. Dari sekian
perbedaan jumlah dan susunanmaqamat itu, menunjukkan adanya kesepakatan dalam penempatan
awalmaqam dengan menempatkan maqam taubat pada urutan pertama. Ini membuktikan
bahwa untuk memasuki perjalanan ruhani menuju Tuhan,station pertama yang harus
dimasuki adalah pintu taubat yang di dalamnya berlangsung proses penyucian jiwa
dari segala kotoran.
Macam-macam Maqamat
Para sufi berbeda pendapat dalam jumlah atau banyaknya
tingkatan maqamat agar bisa sampai kepada Tuhan. Misalnya, menurut Muhammad
al-Kalabazy dalam kitabnya at-Ta'aruf li Mazhab Ahl al-Tasawwuf berpendapat
bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr,
al-faqr, al-tawadlu', al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah, dan
al-ma'rifah.
Kemudian maqamat menurut Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi
dalam kitab al-Luma' menyebutkan bahwa maqamat itu jumlahnya ada enam yaitu
al-taubah, al-wara', al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan
Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' Ulum al-Din mengatakan bahwasanya maqamat
itu ada tujuh, yaitu al-taubah, al-shabr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah,
al-ma'rifah dan al-ridla.
Meskipun para sufi berbeda pendapat mengenai maqamat
seperti yang sudah disebutkan diatas, akan tetapi ada maqamat yang oleh para
sufi disepakati, yang jumlahnya ada tujuh. Tujuh maqamat tersebut ialah
al-taubah, al-zuhud, al wara', al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla.
a. Al
Taubah
Kata Al-Taubah berasal dari bahasa Arab yaitu taba,
yatubu, taubatan yang memiliki arti kembali. Dalam Al Qur’an, banyak kita
jumpai ayat yang menganjurkan kepada manusia agar bertaubat. Antara lain:
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan
perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu
memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni
dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu,
sedang mereka mengetahui” (QS. Ali ‘Imron: 135)
“…... Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”(QS. An Nur: 31)
Setidaknya, ada empat alasan yang dapat dikemukakakan
tentang mengapa kita harus bertaubat. Pertama, manusia merupakan makhluk yang
sering berbuat dosa dan kesalahan, entah itu disengaja ataupun tidak. Orang
yang tidak pernah berbuat salah dan dosa bukanlah orang baik. Namun, mereka
yang mau menyadari kesalahan dan dosanya dengan bertaubat serta berjanji tidak
akan mengulanginya setelah itu ialah orang baik. Perbuatan dosa yang kemudian
tidak disertai dengan bertaubat akan menghalangi seseorang untuk taat kepada
Allah.
Kedua, kita yakin bahwa Allah Maha Pengampun terhadap
hamba-Nya. Tidak memandang dosa yang sebesar gunung, seluas lautan, atau bahkan
sampai tidak terhingga. Allah akan tetap menerima taubat hamba-Nya, selagi
belum terlambat.
Ketiga, dosa yang kita lakukan jika tidak dihapus
dengan air mata taubat justru akan menjadi noda hitam yang mengotori dan
menghalangi hati untuk memperoleh hidayah dan cahaya Tuhan. Imam al Ghazali
mengibaratkan hati manusia dengan cermin. Apabila cermin itu terkena kotoran,
maka tidak akan bisa untuk mengaca, terlebih memantulkan cahaya. Demikian juga pada
hati manusia, jika ia sering digunakan untuk berbuat dosa dan maksiat, maka akan sulit untuk menerima dan
memantulkan cahaya Tuhan.
Keempat, dari segi psikologis, orang yang melakukan
kesalahan atau dosa akan merasa gelisah, tidak tenang, bahkan bisa mengalami
keterbelakangan jiwa. Maka dari itu, orang tersebut jika terus menerus
membiarkan perbuatan dosanya akan bedampak negatif bagi kesehatan
psikologisnya. Dengan cara taubat inilah orang akan lapang jiwanya.
Adapun taubat yang dimaksud oleh para sufi ialah
memohon ampunan kepada Allah atas segala dosa dan kesalahan yang telah
dilakukan dan berjanji dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan
dosa tersebut. Tentunya dengan disertai melakukan amal kebajikan. Artinya
adalah taubat yang sebenarnya. Bisa juga disebut dengan taubatan nasuha, taubat
yang tidak akan membawa dosa lagi.
Bagi kalangan sufi, untuk mencapai taubat yang
sebenarnya ini terkadang tidak cukup dilakukan hanya dengan satu kali saja.
Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali
taubah, kemudian baru ia mencapai tingkat taubat yang sebenarnya. Karena taubat
yang sebenarnya bagi kalangan sufisme adalah lupa pada segala hal kecuali
Tuhan.
Imam Nawawi, dalam kitabnya al Adzkar menyebutkan
bahwa taubat kita agar diterima oleh Allah harus memenuhi syarat berikut:
1) Harus
ada rasa penyesalan (an nadamah) dalam hati atas segala dosa yang dilakukan.
Terkadang sudah sadar akan dosa yang diperbuat dan langsung bertaubat, namun
setelah itu malah bangga akan dosa yang telah dilakukan atau justru melakukan
dosa itu lagi.
2) Berjanji
dengan hati untuk tidak mengulangi lagi perbuatan dosa dan maksiat. Sebenarnya,
ini hanyalah konsekuensi logis dari rasa penyesalan kita. Jika kita menyesal,
maka harusnya tidak ingin mengulangi perbuatan maksiat itu lagi.
3) Memperbanyak
“istighfar”, yakni memohon ampunan kepada Allah. Jangan sampai kita
dininabobokkan oleh kemaksiatan dan dosa yang telah dilakukan. Nabi Muhammad
SAW saja masih memohon ampunan kepada Allah. Padahal beliau sudah mendapatkan
‘garansi’ dari Allah. Bagaimana dengan kita yang tidak ada ‘garansi’ dari
Allah?
4) Berusaha
menghindari atau meninggalkan lingkungan yang dapat memicu dan memacu berbuat
maksiat dan dosa. Lingkungan pergaulan memang sangat kuat pengaruhnya. Orang
yang mengaku dirinya bertaubat, maka akan mencari tempat yang baik. Sebab, ini
akan mendorong dirinya untuk berbuat baik.
5) Jika
perbuatan dosa yang kita lakukan berkaitan dengan hak orang lain, maka kita
harus meminta kehalalan atau mengembalikannya kepada orang bersangkutan.
Apabila orang yang telah kita zhalimi telah tiada (menginggal), maka kita dapat
memberikan hak tersebut kepada ahli warisnya ata fakir miskin dengan niat dan
memohon agar pahalanya disampaikan kepada orang tersebut.
Tentunya ini memerlukan waktu yang cukup panjang dan
usaha yang maksimal. Oleh karena itu, untuk memantapkan taubatnya ia harus
pindah ke stasion berikutnya yakni zuhud.
b. Al Zuhud
Secara harfiah al zuhud berarti tidak ingin kepada
sesuatu yang bersifat keduniawian. Sedangkan menurut Harun Nasution zuhud artinya
keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Asal kata dari zuhud ialah
zahida yazhadu zuhdan yang artinya membenci sesuatu. Dengan demikian orang
dikatakan zuhud apabila ia mau mempersiapkan diri mencari bekal untuk hidup di
akhirat, berpegang teguh dengan agama, dan terus menerus menjalankan ketaatan
kepada Allah.
Jadi zuhud tidak harus dengan meninggalkan dunia
sepenuhnya, melainkan sikap hati yang tidak terlalu suka dengan dunia sehingga
lupa akan kehidupan akhirat. Banyak orang kaya raya, namun juga mereka sangat
zuhud. Contohnya Nabi Sulaiman, meskipun ia kaya raya, namun ia dikenal dengan
dengan sebutan azhaduz zahidin atau orang yang paling zuhud diantara
orang-orang zuhud. Beliau makan makanan yang sederhana, sementara dirinya
memberikan makanan yang enak kepada rakyatnya.
Beberapa hal bisa dilakukan seseorang untuk sampai
pada maqam zuhud ini, diantaranya:
1. Menyadari
dan menyakini bahwa dunia ini fana. Pada saatnya manusia akan meninggalkannya.
Selain itu ia juga harus yakin bahwa dirinya pasti akan kea lam baka, yakni
akhirat.
2. Menyadari
dan menyakini bahwa dibelakang dunia ini ada akhirat yang jauh lebih baik bagi
orang-orang yang bertaqwa.
3. Banyak
mengigat mati, agar hati menjadi lembut dan hidupnya lebih berhati-hati. Sebab
setelah meninggal dunia manusia akan ditanya dan mempertanggung jawabkan semua
amal perbuatannya.
4. Mengkaji
sejarah perjalan hidup para nabi, sahabat, atau orang-orang shalih yang
notabene mereka adalah orang-orang zuhud.
Biasanya, seseorang yang sampai pada maqam ini akan
mengasingkan diri ke tepat terpencil untuk beribadah. Seperti sholat, puasa,
membaca Al Qur’an, maupun berdzikir. Orang tersebut hanya makan dan minum untuk
bertahan hidup saja. Menyedikitkan tidur dan memperbanyak ibadah bahkan pakaian
juga sederhana. Sehingga orang tersebut sudah tidak tergoda oleh dunia. Apabila
orang tersebut sudah keluar dari pengasingannya, namun juga masih tetap
melakukan hal-hal layaknya di tempat pengasingan. Ia tetap berpuasa, melakukan
sholat, membaca Al-Qur’an maupun berdzikir maka ia harus melanjutkan ke stasion
berikutnya yakni wara.
c. Al
Wara’
Pada stasion ini, ia akan dijauhkan oleh Tuhan dari
hal-hal syubhat. Kata al wara’ dapat diartikan sebagai saleh, menjauhkan diri
dari perbuatan dosa. Selanjutnya, dalam pandangan orang sufi, wara’ memiliki
arti meninggalkan semua hal yang di dalamnya mengandung keraguan antara halal
atau haram (syubhat).
Syubhat itu sendiri lebih dekat kapada sesuatu yang
haram. Seperti dalam hadis, “Barang siapa yang dirinya terbebas dari syubhat,
maka sesungguhnya ia telah terbebas dari yang haram.”(HR. Imam Bukhari).
Tentunya, bagi salik atau sufi makanan, minuman, pakaian, ataupun yang lainnya
mengandung haram akan berpengaruh dalam prosesnya menuju Allah. Sebab, orang
yang telah mengkonsumsi hal semacam ini akan keras hatinya, sehingga akan sulit
mendapat hidayah dan ilham dari Tuhan.
Halal, haram, dan syubhat seperti rambu-rambu lalu
lintas. Sungguh tak terbayangkan bagaimana jadinya jika manusia berjalan di
jalan raya yang ramai tidak ada rambu-rambu. Tentu akan terjadi kekacauan,
sebab tidak ada petunjuk mana pertanda yang boleh lewat duluan dan mana yang
harus berhenti. Begitulah pula dengan persoalan makanan dan minuman, kita juga
memerlukan petunjuk rambu-rambu.
Sekarang kita analogikan, lampu hijau merupakan hal
yang halal atau makanan dan minuman yang boleh dimakan. Kemudian lampu merah
sebagai tanda haram, maka kita wajib berhenti, tidak boleh mengkonsumsinya.
Selanjutnya lampu kuning, menjadi tanda dari hal-hal yang makruh, maka di sini
kita harus berhati-hati. Adapun orang yang wira’i pasti akan lebih memillih
berhenti saat lampu kuning sudah menyala. Sedangkan orang yang nekat, jangankan
lampu kuning, lampu merah saja ia terjang. Jangankan syubhat, haram saja ia konsumsi.
Betapapun sikap wara’ sangat dianjurkan, namun
demikian, jangan sampai seseorang terkena ghurur (tipu daya), sikap wara’ yang
ekstrim. Sebab kadang ada seseorang yang merasa menjadi seseorang wara’, dia
lalu bersikap ekstrim. Semua barang seolah selalu dipertanyakan kehalalannya.
Misalkanya, ada makanan atau minuman yang jelas-jelas halal, baik zatnya, cara
pembuatan atau proses mendapatkannya, tetapi karena ekstrim (ghuluww) dalam
memahami sikap wara’, ia lalu tidak mau mengkonsumsi makanan atau minuman tersebut.
Sikap wara’ seperti ini dalam saat yang bersamaan dapat menjebak seseorang
bersifat ujub dan riya’. Ini disebabkan oleh nafsu keegoisan yang mendasari
keinginan untuk menjadi orang wara’.
Sekarang, seseorang harus menghadapi tantangan
kehidupan modern. Tentunya modernitas ini juga membawa dampak negative.
Termasuk di dalamnya, sikap dan gaya hidup yang materialistik dan hedonistik.
Oleh karena itu manusia harus memiliki prinsip yang kuat dalam hidup. Adapun sikap wara’ ini bisa menjadi tameng
manusia dalam kehiduapn modern ini. Sebab, dengan adanya sikap ini nanti
seseorang akan mempunyai kakuatan batin yang bagus. Untuk menumbuhkan sikap
wara’ juga bisa dengan mengetahui manfaatnya.
Seperti ditulis oleh Muhammad Luqman Hakim, dalam
majalah sufi edisi ke 29 Januari 2004, diantara manfaat sikap wara’ adalah:
1)
Wara’ menumbuhkan sifat
kesatria, kejujuran, kesahajaan, kesederhanaan, dan sikap sosial yang positif.
2)
Wara’ akan menjauhkan sifat
israf (berlebihan), egoisme, meterialisme (ambisi materi), dan kesombongan.
3)
Wara’ mendorong seseorang
menjadi hamba Allah yang merdeka dari kepentingan selain Allah, karena hakekat
wara’ adalah sikap waspada terhadap segala hal selain Allah.
4)
Wara’ mengantarkan seseorang
untuk bersikap tulus ikhlas dalam beramal kepada Allah. Karena tanpa wara’,
ibadah kita akan menyimpang dari nilai-nilai keikhlasan.
5)
Wara’ menghilangkan sikap
kepura-puraan, kemunafikan, basa-basi, dan membebaskan dari penjara hawa nafsu
kita.
6)
Wara’ adalah awal dari
ketaqwaan seseorang.
7)
Wara’ akan mengantarkan
seseorang untuk terus menerimamemandang Allah dalam setiap hal yang halal.
Sehingga wara’ juga mendorong manusia untuk terus menerima bersyukur, sebab di
balik yang di pandang ada nama Allah.
8)
Wara’ adalah nuansa majelis
Ilahi. Abu Hurairah pernah mengatakan, “orang-orang yang berada di mejelis
Allah adalah ahli wara’ dan zuhud.”
9)
Wara membuat seseorang tidak
suka berbuat dzalim, ia senantiasa berbuat adil, proposional, dan wajar serta
menjauhkan diri dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme)
d. Al Faqr
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang
yang berhajat, butuh atau orang miskin. Dalam pandangan sufi fakir adalah tidak
meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki
kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban, kalau diberi diterima.
Tidak meminta tetapi tidak menolak.
Kefakiran ialah tahapan yang penting. Menurut Kyai
Achmad Siddiq, al faqr ialah selalu menyadari kebutuhan dirinya kepada Allah.
Artinya, seseorang tidaklah memiliki sesuatu yang bernilai atau sesuatu yang
patut dibanggakan di hadapan Allah. Kekayaan, kekuasaan, kepandaian, bahkan
ibadah yang dilakukan selama hidupnya tidak patut diunggulkan atau dibanggakan
di hadapan Allah. Seandainya Allah tidak memberikan belas kasih-Nya, semua itu
tidak akan nilainya sama sekali. Maka sepenuh hati menyadari akan
ketergantungan dengan Allah, setiap saat bahkan setiap detik, dalam kondisi
apapun, inilah yang dimaksud al faqr.
e. Al
Shabr
Setelah menjalani maqam kefakiran, maka ia akan sampai
pada maqam sabar. Sabar di sini bukan sekedar menjalankan perintah-Nya yang
berat dan menjauhi larangan-Nya yang penuh dengan cobaan. Ia harus sabar
menderita, bukan hanya bisa memohon pertolongan akan tetapi ia juga harus sabar
yakni menunggu pertolongan itu.
Banyak pula yang memiliki anggapan yang keliru
terhadap makna sabar ini. Parahnya, orang yang bersikap sabar ini disamakan
dengan orang yang pasif, tidak mau berusaha, dan menunda-nunda dalam melakukan
sesuatu. padahal dalam kesabaran ini ada dimensi kesungguhan, keuletan, dan
profesionalitas. Maka menunda-nunda sholat bukanlah kesabaran namun kemalasan.
Oleh karena itu, kesabaran tidaklah identic dengan sikap menunda-nunda berbuat
kebaikan.
Berdasarkan konteksnya, sabar dapat dibagi menjadi
tiga bagian:
1)
Sabar dalam ketaatan (as
shabru ‘ala al Tha’ah). Hal ini harus dilakukan dengan cara istiqamah
(konsisten dan terus menerus) dalam menjalankan ketaatan kepada Allah.
2)
Sabar meninggalkan maksiat
(as shabru ‘an al ma’siyyah). Ini dilakukan dengan cara mujahadah (jihad
spiritual), bersungguh-sungguh dalam memerangi hawa nafsu dan meluruskan
keinginan-keinginan yang buruk yang dibisikkan oleh setan.
3)
Sabar ketika ditimpa musibah
(as shabru ‘ala al Mushibah). Ini dilakukan ketika kita ditimpa musibah atau
kemalangan.
Dunia sesungguhnya tempat ujian (dar al imtihan).
Allah akan menguji keimanan seseorang, antara lain dengan ditimpakan nya
musibah kepadanya. Ini bukan berarti Tuhan tidak saying, melainkan sekedar
untuk menguji, sejauh mana kekuatan imannya.
Menurut Ibnu A’jibah, orang sabar jika diklasifisikan
berdasarkan tingkatannya dapat dibagi menjadi tiga:
1)
Sabar tingkatan orang awam.
Seseorang dalam posisi ini akan selalu tabah atas kesulitan-kesulitan dalam
menjalankan ketaatan dan melawan segala bentuk pelanggaran.
2)
Sabar tingkatan orang khusus
(khawash). Seseorang yang masuk dalam tingkatan ini akan bisa menahan hati
(tabah) ketika menjalankan riyadlah dan mujahadah (perjuangan spiritual) dengan
selalu melakukan muraqabah, sehingga dalam hatinya selalu hadir nama Allah.
3)
Sabar tingkatan khawashul
khawas. Seseorang bisa dikatakan masuk dalam maqam ini bila ia bisa menahan ruh
dan sir agar dapat menyaksikan Allah (musyahadah) dengan mata hatinya.
Menjadi orang awam dan masuk dalam level pertama saja
sudah bagus. Akan tetapi, kita hendaknya berusaha untuk meningkatkan kesabaran
bahkan sampai level tertinggi.
f. Al
Tawakkal
Setelah masuk pada stasion al tawakkal maka ia akan
menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Oleh karena ia tidak
akan berpikir tentang hari esok. Dengan
menyerahkan diri ini ia akan merasa tenang sepenuhnya. Terkadang ia bersikap
seolah-olah telah mati.
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri.
Menurut Sahal bin Abdullah bahwa awalnya tawakal adalah apabila seorang hamba
dihadapan Allah seperti bangkai dihadapan orang yang memandikanya, ia mengikuti
semua yang memandikan, artinya tidak dapat bergerak dan bertindak.
Lebih lanjut, Al Qusyairi berpendapat bahwa tawakkal
tempatnya ialah ada di dalam hati. Adapun gerakan tubuh (perbuatan) tidaklah
mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati tersebut. Sehingga akan timbul
keyakinan bahwa semua yang terjadi merupakan takdir dari Allah.
Pendapat tersebut dikuatkan oleh Harun Nasution yang
mengatakan bahwa tawakkal ialah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan
Allah. Misalkan orang tidak mau makan, karena ada orang yang lebih membutuhkan
dari pada dirinya.
Bertawakkal termasuk perbuatan yang diperintahkan oleh
Allah. Dalam firman-Nya, Allah menyatakan :
“…. dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman
harus bertawakal." (QS. At Taubah: 51)
“…. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada
Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal.” (QS. At Maidah: 11)
g. Al Ridla
Secara harfiah ridha artinya rela, suka, senang. Harun
Nasution mengatakan ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang kada dan
kadar Tuhan. Menerima kada dan kadar dengan senang hati. Mengeluarkan perasaan
benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan
gembira. Mereka senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima
nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka.
Tidak berusaha sebelum turunnya sebelum turunnya kada dan kadar, tidak merasa
pahit dan sakit sesudah turunnya kada dan kadar, malahan perasaan cinta bergelora di waktu turunnya bala’(cobaan
yang berat).
Seseorang yang memiliki sikap ridha bukan berarti ia
meninggalkan usaha (ikhtiar). Karena hal semacam ini bisa mengakibatkan sikap
yang fatal dan membuat orang tersebut pasif. Saat ditimpa musibah, orang yang
ridha ini akan merasakan pedih atau sakit. Namun ia lebih yakin bahwa setelah
musibah ini pasti akan mendapatkan hasil yang lebih baik yakni kebahagiaan.
Seperti orang yang sakit, ia harus disuntik, orang tersebut pasti merasakan
sakitnya jarum, namun ia rela disuntik karena sangat yakin setalah disuntik itu
ia akan sembuh.
Ridha biasanya berkaitan dengan hal-hal yang tidak
menyenangkan, seperti seseorang sedang tertimpa musibah: ibunya meninggal
dunia, hartanya dicuri maling, anaknya meninggal sewaktu masih kecil, dan lain
sebagainya. Maka ridha ini merupakan salah satu sifat yang amat mulia. Tentunya
kedudukannya lebih tinggi dari pada sabar.
Itulah sebabnya Nabi juga mengajarkan doa kepada para
sahabat agar menjadi pribadi-pribadi yang memiliki sifat ridha. Beliau
bersabda: “Barang siapa yang berdoa setiap pagi dan sore dengan membaca doa
radhitu billahi rabba wa bil islami dina wa bi muhammadin rasula” aku ridha
Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agamaku, Muhammad sebagai rasul”. (HR. Abu
Dawud)
Dalam hadis Qudsi, Nabi menegaskan: “sesungguhnya Aku
ini Allah, tiada Tuhan selai Aku. Barang siapa yang tidak bersabar atas
cobaan-Ku, tidak bersyukur atas segala nikmat-Ku serta tidak rela terhadap
keputusan-Ku, maka hendaknya ia keluar dari kolong langit dan cari Tuhan selain
Aku.”
Beberapa hal bisa kita lakukan untuk mencapai stasion
ini, diantaranya: 1) Ketika ditimpa
musibah, yakin dan sadar bahwa Allah sedang menguji dan ujian ini ialah bentuk
kasih sayang dari-Nya. Rela menerima ketika ditimpa musibah bukan berkeluh
kesah. Dan 2) Yakin akan hikmah
adanya musibah tersebut. Hikmah tersebut bisa diketahui dengan melakukan
munasabah atau intropeksi diri. Bukan sekedar rela akan musibah yang telah
diberikan oleh Allah.
Definisi Ahwal
Keadaan lain yang hampir sama dengan maqamat yaitu hal
(pluralnya ahwal). Ahwal merupakan bentuk jamak dari hal. Secara bahasa, ahwal
atau hal memiliki arti kondisi atau keadaan. Dapat pula kita pahami, ahwal atau
hal ini merupakan keadaan mental. Seperti: perasaan senang, perasaan sedih,
perasaan takut, dan sebagainya. Kemudian dalam ilmu tasawuf, hal artinya
perasaan yang menggerakkan dan mempengaruhi hati yang disebabkan karena
bersihnya dzikir.
Dinamakan hal arau ahwal adalah apa yang didapatkan
orang (si salik) tanpa dicari (melainkan datang sebagai hibah dari Allah SWT).
Keadaan jiwa mutasawwifin sekaligus menandai tingkat pencaapaian mereka dalam
usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT, melalui riyadhah dan mujahadah
sepanjang perjalanan spiritualnya. Sedangkan dalam maqamat didapatkan dengan
dicari (diusahakan). Dengan kata lain hal itu bukan usaha manusia, tetapi
anugerah Allah setelah seorang berjuang dan berusaha melewati maqam tasawuf.
Yang termasuk ahwal antara lain : perasaan dekat, cinta, takut, harap, rindu,
yakin, dan puas terhadap Tuhan, serta tentram dan musyahadah (perasaan
menyaksikan kehadiran Tuhan).
Hal dimaknai sebagai tingkat derajat spiritual yang
semata-mata anugerah Allah SWT. Itulah sebabnya,ahwal lebih memiliki makna dan
fungsi tentang keadaan-kondisi kerohanian yang bersifat temporer, tanpa ikhtiar diri, dan lebih
merupakan anugerah khusus dari Allah SWT; meskupun ia tidak bisa dilepaskan
dari upaya yang sungguhsungguh untuk menjalani kehidupan kerohanian. Keadaan
inilah yang merupakan bonus dari Sang Maha Kuasa untuk kebaikan hamba-Nya yang
sholih.
Dalam pandangan Harun Nasution sebagaimana dikutip
oleh Abuddin Nata,hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan
sedih/menangis, takut, senang, dan sebagainya. Oleh karena itu ada
istilahistilah lain yang termasuk kategorihal, yaitual-muraqabat wa al-qurb,alkhouf
wa al-roja (takut dan penuh harap),55at-tuma’ninah (perasaan tenang dan
tentram),al-musyahadat (menyaksikan dalam pandangan batin),alyaqin (penuh
dengan keyakinan yang mantap),al-uns (rasa berteman),attawadlu’ (rendah hati
dan rendah diri),at-taqwa (patuh),al-wajd (gembira hati),asy-syukr (berterima
kasih), dan ikhlas.
Dengan demikian antara maqamat dan ahwal merupakan dua
prinsip dalam kajian tasawuf yang tidak bisa dipisahkan. Maqamat dengan usaha
dan kerja keras yang maksimal; kemudian hasilnya merupakan anugerah dari Allah
SWT berupa perasaan dan keadaan-keadaan (ahwal) yang dialami oleh seorangsalik
menuju Tuhannya
Macam-macam Ahwal
a. Khauf
Khauf dalm kajian tasawuf yakni perasaan takut karena
dihantui oleh dosa serta ancaman yang akan menimpanya. Dengan begitu, orang
tersebut akan senantiasa melakukan dzikir dan berdoa agar terlindung dari
adzab-Nya. Ketika rasa takut ini telah menetap dalam dirinya, maka ia akan bisa
mengendalikan nafsu. Rasa takut ini sangat berperan dalam diri seseorang, sebab
bisa menjadikan dirinya senang dan damai.
b. Tawaddu’
Tawaddu’ artinya rendah hati. Tawaddu’ yang sebenarnya
ialah kerendahan dari seorang hamba terhadap kebenaran dan kuasa-Nya. Namun
juga merupakan bentuk tawaddu’ dengan merendahkan sayap terhadap semua makhluk
dan bersikap lemah lembut terhadapnya.
Sikap rendah hati bentuk usaha untuk menghindari diri
dari sifat tamak dan sombong. Syaikh al Islam Abdullah al Ansari mengatakan
tawaddu’ mempunyai tiga tahap, yaitu:
1) Tawaddu’
kepada agama,yaitu dengan tidak menentangnya dengan pemikiran dan penukilan,
tidak menolak dalil agama, dan tidak berpikir untuk menyangkalnya.
2) Meridhai
seorang muslim sebagai suadara sesama hamba Allah meredhai dirinya, tidak
menolak kebenaran sekalipun datang dari pada musuh dan menerima permohonan maaf
daripada orang yang meminta maaf.
3) Tunduk
kepada kebenaran (Allah) dengan melepaskan pendapat dan kebiasaan dalam
mengabdi tidak melihat hak dalam mu’ammalah.
c. Taqwa
Taqwa artinya ialah pemeliharaan diri. Sifat ini
ditujukan utuk orang yang patuh, taat, dan sabar terhadap perintah Allah serta
memelihara dirinya dari perkara-perkara yang buruk. Dapat dipahami pula, taqwa
secara umum ialah memelihara diri dan tetap menjaganya dengan melaksanakan
ketaatan dan amal shalih.
Pemeliharaan semacam ini akan menghasilkan nilai
positif. Ia akan memiliki keadaan psikologi yang lembut. Kemudian nilai
ketuhanan yang kukuh. Selain itu, ia juga akan merasakan ketenangan dan
kebahagiaan. Sikap taqwa ini akan melahirkan sikap adil dan berlaku benar.
Bahkan ia juga amanah dan mempunyai hubungan baik dengan lingkungan sekitar.
d. Ikhlas
Hakikat ikhlas adalah al tabarri ‘an kulli ma
dunallah, bebas dari apa yang selain Allah. Artinya, seseorang beribadah hanya
mengharap ridha Allah, bukan hanya karena mengharap pujian makhluk. Satu hal
yang perlu dipahami bahwa ikhlas berkaitan erat dengan niat dalam hati
seseorang ketika beribadah. Ikhlas yang sempurnya harus dilakukan baik sebelum,
sedang, dan sesudah beribadah. Sebab ada orang ikhlas ketika beribadah, tetapi
setelah itu ia terjebak dalam sikap riya’ (pamer), maka rusaklah nilai
ibadahnya.
Adapun hal-hal yang dapat merusak keihklasan antara
lain:
Pertama, Bersikap riya’, yaitu memamerkan amal ibadah
karena ingin mendapat pujian dari orang lain. Al Qur’an mencela orang yang
beribadah tetapi suka pamer (riya’).
Allah berfirman: “ (QS. Al Ma’un: 4-6). Berbeda dengan
jika kita menceritakan amal ibadah kita dengan maksud untuk memberi keteladanan
dan mensyukuri nikmat Allah. Misalkan setelah pulng dari haji kita menceritakan
tentang bagaimana nikmatnya ibadah di Mekkah. Hal ini dimaksudkan agar mereka
yang kita ajak berbicara termotivasi untuk segera menunaikan ibadah haji.
Adapun ciri-ciri riya’ menurut Sayyidina Ali,
sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad al Syamarqandi dalam kitab Tanbihul
Ghafilin (hlm. 5), antara lain: a.
Malas beribadah jika sendirian(tidak dilihat orang lain), b. Tampak semangat beribadah atau berbuat
baik jka disaksikan orang lain, c.
Menambah ibadahnya jika dipuji, dan d. Dan mengurangi ibadahnya jka tidak dipuji
(atau dicela).
Obat dari penyakit ini yakni hanyalah kesadaran diri
yang amat tinggi bahwa setiap perbuatan , ibadah kita dilihat oleh Allah. Ia
tidak akan luput sedikitpun.
Kedua, bersikap ‘ujub, yaitu mengagumi kehebatan
ibadah dalam hati, meskipun hal ini tidak diceritakan kepada orang lain.
Contoh, orang dapat elakukan sholat dengan berjamaah atau tahajud dengan
istiqomah. Lalu dalam hatinya muncul sifat ‘ujub. Dalam hati berkata, “ah tidak
ada orang sehebat sayadalam hal shalat berjamaah atau tahajud”. Sikap ini dapat
diobati dengan cara yang sama pada sifat riya’, yakni kesadaran. Sadar bahwa ia
tidak dapat beribadah seperti itu kecuali atas pertolongan Allah.
Merasa puas terhadap amal ibadah dan tertipu olehnya.
Ini juga dapat merusak keikhlasan dalam beribadah. Sikap seperti ini hanya bisa
sembuh dengan cara mengetahui cacat (aib) yang ada dalam amal perbuatan. Karena
sangat sedikit sekali suatu perbuatan yang benar-benar bisa yang bisa selamat
dari bisikan setan. Oleh sebab itu seseorang tidak boleh merasa puas dengan
amal ibadahnya. Melainkna harus merasa ada yang kurang dalam ibadahnya, sehinga
muncul sikap taubat dan upaya yang terus menerus untuk memperbaki kualitas
ibadahnya.
Ketiga, Ingin dipuji dan ingin popular. Orang yang
memiliki dua sifat seperti ini sulit untuk beramal dengan ikhlas. Pada saat
yang bersamaan ia juga takut dicela oleh orang lain. Dia beramal karena
manusia, bukan karena Allah.
Menurut Ibnu ‘Ajibah sebagaimana dikutip oleh Abdul
Qadir ‘Isa dalam kitab Haqiqah Tashawwuf (hlm. 256-257), ikhlas dapat
diklasifikasikan menjadi tiga bagian:
1) Ikhlas
tingkatan orang awam. Ia beribadah karena Allah, tetapi masih disertai dengan
mencari keuntungan duniawi dan ukhrowi. Misalkan, ingin agar badannya sehat,
hartanya banyak, dan mendapatkan pahala, bidadari serat surge di akhirat.
2) Ikhlas
tingkatan orang khusus. Seseorang akan beribadah hanya semata-mata untuk
mencari untuk keuntungan akhirat. Tidak ada motivasi sedikitpun untuk mencari
keuntungan duniawi. Naum, di dalam hatinya masih ada keinginan untuk memperoleh
pahala, surge, bidadari, dan lain sebagainya.
3) Ikhlas
tingkatan khawashul khawash. Orang hanya beribadah kerena ingin ridhanya Allah.
Ia beribadah atas dasar rindu dan cinta kepada Allah.
Tingkatan ketiga inlah yang banyak dicari oleh para
sufi. Sebagaimana tampak dalam syair: “Tujuan ibadah mereka bukanlah mencari
surge ‘Adn, tidak pla mencari bidadari yang cantik jelita, dan kemah-kemah yang
indah mempesona. Tuuan mereka adalah memandang Dzat yang Maha Agung semata,
inilah tujuan mereka.”
e. Syukur
Imam Ibnul Qoyyim, mendefinisikan syukur ialah
kecondongan hati untuk mencintai kepada Dzat yang memberi kenikmatan. Anggota
tubuhnya condong tergerak untuk taat kepada-Nya, lidahnya selalu mengingat dan
memuji-Nya.
Sementara itu, Ibnu ‘Ajibah berpendapat bahwa syukur
adalah senangnya hati seseorang atas kenikmatan yang ia peroleh, lantas anggota
tubuhnya tergerak untuk taat kepad yang memberi nikmat, disertai sikap
pengakuan kepada Dzat yang memberi nikmat dengan tundik kepada-Nya.
Dengan kata lain, syukur adalah berterima kasih kepada
Allah sebagai Dzat yang memberi nikmat, yang dibuktikan tidak saja dengan hati
dan ucapan, tetapi juga dengan tindakan. Seseorang yang pandai bersyukur akan
menggunakan seluruh anugerah Tuhan untuk hal-hal yang mendatangkanridha-Nya.
Manusia pada umumya cenderung kufr al nikmah
(mengingkari nikmat Allah). Padahal Allah SWT telah memberikan nikmat yang tak
terhingga kepadanya. Manusia yang pandai bersyukur akan ditambah nikmatnya oleh
Allah. (lihat QS. An Nisa’: 147).
Allah telah berfirman, “ Seandainya kalian mau
menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya”. (QS.
Ibrahim: 34).
Nikmat Allah jika dilelompokkan berdasarkan sifatnya,
maka paling tidak dapat dibagi menjadi tiga macam: 1) Nikmat Duniawi, seperti kesehatan, harta
yang halal, kekuatan, dan lain sebagainya, 2) Nikmat Diniyyah, seperti amal shalih,
ilmu, taqwa, iman, ma’rifat kepada Allah, dan lain sebagainya, dan 3) Nikmat Ukhrawi, semisal berupa pahala
atas amal shalih yang sedikit, tetapi balasannya sangat besar, yaitu surge
dengan segala macam kenikmatannya.
Semua nikmat Allah itu wajib disyukuri. Dan yang
paling penting untuk disyukuri adalalh nikmat Islam, iman, dan ma’rifah depada
Allah. Agama Islam diturunkan oleh Allah pada manusia agar dijadikan jalan
hidup baginya dalam mengarungi kehidupan.
Syukur berdasarkan caranya, manurut Abdul Qadir
Isadapat dibagi menjadi tiga macam:
1) Al
Syukru bi lisan, bersyukur dengan ucapan, misalkan dengan mengucapkan kalimat
Alhamdulillah, atau al tahaduts bin nikmah (menceritakan nikmat-nikmat Allah
yang selama ini diberikan kepada kita semua). Maka menyembunyikan nikmat Allah
termasuk kufr bi nikmah.
2) As
Syukru bil Arkan, bersyukur dengan melakukan amal shalih dan berbagai macam
perbuatan terpuji. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh rasul SAW. dimana
setiap malam beliau rajin sholat tahajjud (qiyamul lail). Sampai kedua telapak
kakinya bengkak.
3) As
Syukru bil Janan, bersyukur dengan hati, yakni bersaksi bahwa setiap nikmat
yang ada pada diri seseorang adalah anugerah dari Allah SWTG.
Denga demikian, jangan sampai seseorang ketika
menerima berbagai kenikmatan dari Allah, ia malah menutup mata untuk
menyaksikan Dzat yang memberikan nikmat, Allah SWT. Sebagai seorang mukmin,
kita perlu memohon kepada Allah SWT, semoga selalu diberikan pertolongan untuk
selalu dapat mensyukuri segala kenikmatan dan memuji-Nya.
Orang bersyukur memiliki tingkatan-tingkatan sebagai
berikut:
1) Tingkatan
orang umum (awamm). Ia bersyukur ketika mendapat nikmat saja. Tingkatan ini
diibaratkan seperti anak kecil yang hanya mau berterima kasih ketika diberi
sesuatu yang menyenangkan.
2) Tingkatan
orang khusus (khash). Ia bersyukur tidak hanya ketika diberi nikmat, tetapi
juga ketika diberi cobaan bancana atau musibah. Baginya musibah atau bencana
dan nikmat itu sama-sama ujian dari Allah. Cobaan dari Allah dianggap sebagai
bentuk kasih saying dari-Nya. Nabi saw. bersabda: apabila Allah mencintai
hamba-Nya, maka Dia akan mengujinya, karena ingin mendengar rintihannya. (HR.
al Baihaqi dan al Dailani).
3) Tingkatan
orang khawashul khawash. Dia bersyukur bukan karena mendapat nikmat, melainkan
karena melihat al mun’im (Dzat yang memberi nikmat). Dalam kitab risalah al
Qusyairiyyah (hlm. 81), Syeikh Syibli seorang sufi besar (semoga Allah
merahmatinya) pernah berkata: “as syukru ru’yatul mun’im la ru’yatul ni’mah.”
Artinya: bersyukur itu karena melihat Dzat yang memberi nikmat, bukan karena
nikmat itu sendiri.
f.
Mutmainnah
Mutmainnah atau ketenganan merupakan keadaan batin
yang selalu tenteram karena selalu dekat dengan Allah. Menurut ‘Abdullah al
Ansari mutmainnah dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
1) Mutmainnah
hati karena menyebut nama Allah. Ini merupakan mutmainnah yang takut beralih
kepada harapan daripada kegelisahan kepada hukum dan daripada cobaan kepada
pahala.
2) Mutmainnah
yaitu ketika mencapai tujuan pengungkapan hakekat, saat merindukan janji dan
saat berpisah untuk berkumpul kembali,
3) mutmainnah
karena manyaksikan kasih sayang Allah, mutmainnah kebersamaan menuju baqa’ dan
mutminnah kedudukan menuju cahaya azali.
Sebagai kesimpulan, dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama, Maqamat dalam tasawuf ialah jalan yang yang dilalui oleh salik
menuju kehadhirat Allah SWT. Perbedaan pendapat terjadi dalam hal ini. Ada yang
mengatakan jalan atau maqam yang harus dilalui berjumlah tujuh. Namun juga ada
yang mengatakan harus melalui sepuluh tahap. Namun demikian, ada kesepakatan
dari para sufi mengenai tahapan yang harus dilalui. Jumlah maqam yang harus
dilalui ialah tujuh, yakni al-taubah, al-zuhud, al wara', al-faqr, al-shabr,
al-tawakkal, dan al-ridla.
Kedua, Ahwal atau hal sebagai bentuk
keadaan jiwa dari para sufi juga terjadi perbedaan pendapat. Tidak ada jumlah
atau kesepakatan yang pasti dalam hal ini. Sebab, ahwal adalah keadan jiwa dari
seseorang salik. Diantara ahwal tersebut yakni khauf, tawaddu’, taqwa, ikhlas,
syukur, dan mutmainnah.
Ketiga, Agar pembaca dapat mengetahui
lebih jelas dan lebih luas tentang pembahasan pada makalah kami, alangkah
baiknya jika pembaca mencoba membaca materi-materi Tasawuf yang terkait
pambahasan yang lebih banyak khususnya selain dari referensi kami. Misalkan,
Akhlak Tasawuf karya A. Khoiri, Akhlak Tasawuf karya M. Solihin dan R. Anwar,
Akhlak Tasawuf karya A. Mas’ud, dan sebagainya. Demikian yang dapat kami
sampaikan mengenai Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf. Semoga bermanfaat bagi
pembaca. (Ubes Nur Islam dari berbagai Sumber)
Comments
Post a Comment