MENGENAL ISTILAH RIYADHAH, MUJAHADAH, MUQARABAH, DAN MURAQABAH, DALAM ILMU TASAWWUF

 MENGENAL ISTILAH

RIYADHAH, MUJAHADAH, MUQARABAH, DAN MURAQABAH,

DALAM ILMU TASAWWUF

 

Oleh: Ubes Nur Islam

 

Alternatif & Solusi -Dalam Ilmu Tasawwuf, dikenal pula istilah-istilah khusus yaitu RIYADHAH, MUJAHADAH, MUQOROBAH, DAN MUROQOBAH. Istilah-istilah ini bukanlah sekedar kata-kata yang kosong dan tanpa makna, melainkan  sebuah istilah fenomenal yang reflektif, yang di dalamnya penuh kegiatan dan aktifitas yang sistemik dan unik. Kegiatan dan aktifitas sistemik yang dimaksud adalah rangkaian amaliyah yang disadurkan oleh Sang Mursyid Thariqoah untuk para murid yang sudah berbai’at dan sudah siap mengikutinya, agar dilaksanakan sepenuhnya dan sebagaimana mestinya.

 

Rangkaian amaliyah ini bermuatan akumulasi praktik ubudiyah syari’yah yang bersifat konfrehenship, ada yang bersifat wajibi dan ada pula yang berupa anjuran (sunnah), ada yang permanen, dan ada yang adaptif, disesuaikan dengan kapasitas dan potensi kualitas sang murid.

 


Di sisi yang sama, ada amaliyah thariqah yang unik sekali. Keunikan ini tidak ada dalam thariqah lainnya, namun manakala dirunut secara hukum asal, secara essensial dan landasan asasinya tidaklah berbeda dengan thariqoh lainnya, yakni masih berada dalam wilayah dan koridor ajaran syariat islam. Inilah kegiatan praktik amali yang khususi sebagai karakter dari sebuah thariqah independen dan atau kemandirian sebuah thariqoh. Baiklah seperti apa? Inilah realitasnya.

 

1. Riyadhah

Riyadhah adalah latihan-latihan fisikal dan jiwani dalam rangka melawan getaran hawa nafsu dengan berbagai kegiatan aktif melakukan ibadah, misalnya: puasa, khalwat, bangun di tengah malam (qiyamullail), berdzikir, tidak banyak bicara, dan beribadah secara terus menerus untuk penyempurnakan diri secara konsisten. Di sisi yang sama, semua kondisi puncak kebahagiaan, puncak penderitaan, puncak kegembiraan, dan puncak kesedihan merupakan wujud dari riyadhoh, menjadi perjuangan yang terus menurus ditempuh, tanpa mengenal henti. Manusia pada suasana ini selalu mempersiapkan diri dengan berbagai latihan-latihan jiwa untuk kesucian batin. Juga, manusia saat ini harus mempersiapkan dirinya, untuk menyingkap tabir yang membatasi diri dengan Tuhan, dengan sebuah sistem yang dapat digunakan untuk riyadhah al-nafsiyah. Karakteristik ini tersusun dalam tiga tingkat yang dinamakan takhalli, tahalli, dan tajalli.

 

Kunci sukses dari riyadhoh adalah kepasrahan diri, menerima dengan ikhlas dan lapang dada atas semua yang diberikan sang khaliq melalui mursyidnya. Dalam hubungan dengan riyadloh, ada fenomena yang saling tali menali dan berkaitan dengan tiga hal berikut ini: takhalli, tahalli, dan tajalli.

 

•Takholli

Takholli berarti: تخلي من الاخلاق المذ مومة takholli minal akhlaaqil madzmuumah, melepaskan diri dari perangai tercela. Menghapus perbuatan tercela dan menepis atau menolak dengan menjauhi segala hal yang menyebabkan terjadinya dosa dan maksiat. Di sisi tahapan ini, diharuskan bertobat dari berbagai dosa dan salah, dosa dari perbuatan maksiat di masa lalu, dosa dari kesalahan yang masih kita ingat saat kini, dan dosa kita yang tidak kita sadari, dilakukan pertobatan ini dengan cara istiqomah dan ikhlas. Oleh karena itu, dalam tahapan riyadhoh ini kita harus sering melakukan aurod-aurod istighfar, wirid permohonan pengampunan atas semua dosa dan salah kita. Takholli ialah membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela, kotoran rodzail hati, ma’syiat lahir dan ma’syiat batin. Pembersihan ini dalam rangka, melepaskan diri dari perangai yang tidak baik, yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip agama. Sifat-sifat tercela ini merupakan pengganggu dan penghalang utama manusia dalam berhubungan dengan Allah.

 

•Tahalli

Tahalli berati  تحلي نفسك بالاخلاق المحمودة tahalli nafsaka bil akhlaaqil mahmuudah, mengisi jiwa dengan akhlaq yang terpuji, sambil diiringi dengan memulai masuk ke alam syariati, yakni alam kemanusiaan yang bernaung dalam hukum syariat ilahiyah, yakni melakukan dan menjalankan semua perintah Allah dan ibadah kepada-Nya, sebagai wujud ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu, dalam riyadhoh ini seringkali melakukan berbagai amaiyah ibadah dan aurod-aurod asmaul husna, yakni menghayati ibadah dan meneladani sifat-sifat yang tertuang dalam asmaul husna, nama-nama Allah yang indah, yang tertuang dalam al-qur’an.

 

Untuk mengisi perbuatan yang terpuji, diantaranya dengan melakukan dzikir dan melakukan sholat-sholat sunnat. Tahalli merupakan pengisian diri dengan sifat-sifat terpuji, menyinari hati dengan taat lahir dan batin. Hati yang demikian ini dapat menerima pancaran nurullah dengan mudah. Oleh karenanya, segala prilaku dan tindakannya selalu berdasarkan dengan niat yang ikhlas (suci dari riya). Dan amal ibadahnya itu tidak lain kecuali mencari ridha Allah swt. Untuk itulah manusia seperti ini bisa mendekatkan diri kepada yang maha kuasa. Maka dari itu, Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan perlindungan kepadanya.

 

•Tajalli

Tajalli berarti  تجلي الوجه المعبودmerasa nampak jelaslah Tuhan yang disembah di hadapa wajahnya. Maksudnya, Allah jelas dalam dzhahir kehidupan jiwa, hijab tersingkap menjelma kasysyaaf. Demikianlah takhalli permulaan atau bidaayah dengan melalui tahalli, kemudian sebagai efek kesudahan atau nihaayah (puncaknya) adalah tajalli.

 

Dimaksud dengan tajalli adalah merasakan rasa ketuhanan yang sampai mencapai sifat muraqabah. Dalam keterangan lain disebutkan bahwa, tajalli merupakan hal yang dibukakan bagi hati seseorang tentang beberapa nur yang datang dari ghoib.

 

Terkait dengan Tajalli ini, ada empat tingkatan, yakni: tajalli af’al, tajalli asma, tajalli sifat, dan tajalli zat. Tajalli af’al ialah lenyapnya fi’il (prilaku dan gerak aktifitas / kegiatan) dari seorang hamba tidak diakuisisi oleh dirinya sebagai pelaku, melainkan fi’il ini sebagai ejawantah dari fi’il Allah, yang ada hanya fi’il Allah semata-mata (QS. 37:96). Tajalli asma ialah fana-nya seorang hamba, dimana sang hamba tidak lagi menyadari eksistensi dirinya, ia dalam keadaan jadzab, sehingga lepas dari sifat-sifat baru (hawadits) dari tubuh kasarnya. Sementara, Tajalli sifat adalah penerimaan tubuh seseorang yang berlaku dengan sifat ketuhanan, dengan penerimaan yang murni secara hukmi dan qothi.

 

Dalam kaitannya dengan tajalli (penampakkan) Tuhan, Abdul Karim Kutbuddin Bin Ibrohim Al-Jili, bahwa proses tajalli adalah melalui tiga tahap tanazzul, yaitu ahadiyah, huwiyah, dan amiyah. Pada tahap ahadiyah, Tuhan dalam ke-absolutan-nya baru keluar dari al-‘ama (kabut kegelapan), tanpa nama dan sifat. Pada tahap huwiyah, nama dan sifat Tuhan tidak muncul, tetapi masih dalam bentuk potensi. Pada tahap amiyah, Tuhan menampakkan diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-nya kepada makhluk-nya.

 

Diantara semua makhluk-nya pada diri manusialah, ia menampakkan diri-nya dengan segala sifat-nya. Oleh karena itu, manusia adalah tajalli Tuhan yang paling sempurna di antara semua makhluk-nya. Namun tajalli-nya, manurut Budhy Munawwar Rahman, tidak sama pada semua manusia, tergantung kepada kesucian batin manusia itu.

 

Dari tahapan-tahapan takhalli, tahalli, dan tajalli tersebut, prosesnya merupakan bagian dari kegiatan riyadhah. Ketiga hal ini tidak bisa dipisahkan dari pelaksanaan riyadhah. Oleh karena itu dalam riyadloh mengutamakan realisasi dan aplikasinya, yakni segala akhlaqul madzmumah yang merupakan ma’shiatul baathin, dikikis habis, lalu diisi dengan akhlaqul mahmudah yang merupakan ‘ibaadatul qalb atau thaa’atul baathin.

 

Seperti diketahui, bahwa maksud agama ialah agar manusia meninggalkan larangan, yaitu menjauhkan diri dari maksiat dan mengerjakan semua perintah Allah swt, yaitu beramal kebajikan. Lebih didahulukan meninggalkan larangan dari pada mengerjakan perintah, karena memang diakui bahwa meninggalkan semua larangan adalah lebih sukar dari pada mengerjakan suruhan, walaupun sebenarnya pada diri manusia itu lebih banyak kecondongan pada kebaikan dari pada kepada kejahatan. Hanya saja itu memang sukar, karena pengaruh yang telah diterima manusia dari alam sekitarnya.

 

Riyadhoh, sebagai sebuah disiplin asketis atau latihan ke-zuhud-an, seperti yang dipahami oleh Ibnu Arabi sebagai tahdzibul akhlak (pembinaan akhlak), yaitu tazkiyyatuha wa tathiiruha mim ma laa yaliiku biha (penyucian dan pembersihan jiwa dari segala hal yang tidak patut untuk jiwa). Karena itu, riyadhoh adalah alat dan bukan tujuan.

 

2. Mujahadah

Disamping istilah riyadhah, para ulama tasawwuf juga menggunakan istilah ‘mujahadah’. Spirit moral pengamal thariqah memiliki makna dan fungsi perjuangan, yang disebut mujahadah, yaitu ilmu tentang pemahaman, penghayatan, dan pengamalan tentang perjuangan jiwa atau jihad spiritualitas yang dilakukan secara sistemik. Dalam pelaksanaannya, ia memerlukan disiplin yang tinggi untuk mengendalikan hawa nafsu dan penempaan mental melalui olah jiwa dan rasa, yang disebut riyadhoh.

 

Urgensi riyadhoh atau mujahadah dikemukakan oleh banyak ulama, diantaranya Abu Ali Ad-Daqoq, guru imam Qusyairi, menyatakan:

 

من زين ظاهره بالمجاهدة حسن الله سره بالمشاهدة واعلم ان من لم يكن في بدايته صاحب مجاهدتين لم يزد من هذه الطريقته

Man zayyana dhohirohu bil mujahadah (riyadoh) hassanallohu sarooirohu bil musyahadah, wa’lam anna man lam yakun fi bidayatihi shohiba mujahadatin lam yajid min hadzihit thoriqotihi”.

 

Siapa yang menghiasi lahiriyahnya dengan mujahadah (riyadhah) maka Allah memperindah batinnya dengan kemampuan musyahadah. Dan ketahuilah bahwa siapa yang pada awalnnya tidak mujahadah, maka ia tidak akan mencicipi semerbak aroma wangi dalam thoriqoh.

 

Abu Ali Ad-Daqqoq mengungkapkan dengan kalimatالحركة الظاهرة تجيب بركة السرائر  harokatudz dzowahir tujibu barokatus sarooir” (gerakan tubuh lahiriyyah menghasilkan keberkahan pada jiwa). Yahya Bin Mu’adz mengatakan, sebagai mana dikutip Imam Al-Ghozali menegaskan:

 

الرياضة على اربعة اوجوه القوة من الطعام والغمد من المنام والحجة من الكلام والحمل الاداء من جميع الانم

فيتولد من قلة الطعام موت الشهوة و من قلة المنام صفوالارادة ومن قلة الكلام السلامة من العفات ومن احتمال الاداء البلوغ الى الغايات

“Arriyadhotu ala arba’ati awjuhin: al quutu minatto’am walgomdu minal manam walhajatu minal kalam wal hamlul ada min jamiil anam fayatawalladu min killatit to’am mautussahawati wamin killatil manam shofwul iroodaah wamin killatil kalam assalamatu minal aafat wamin ihtimaalil adaa albulugu ial gooyaat.”

 

Riyadoh itu mencakup 4 (empat) aspek: (1) mengurangi makanan pokok, (2) mengurangi tidur, (3). Mengurangi bicara yang tidak perlu, dan (4) menanggung derita, karena akan diganggu banyak orang. Target mengurangi makan supaya mengendalikan keinginan liar yang menjerumuskan, target sedikit tidur bersihnya berbagai keinginan, target sedikit bicara selamat dari berbagai bencana, target menanggung derita diganggu banyak orang adalah sampai tujuan.

 

Jelasnya, antara riyadhah dan mujahadah sangat berkaitan, hal ini untuk mengiplementasikan praktek amaliayah yang disinergikan dalam rangka memahami kapasitas diri, dalam menerpa ruang diri, sudah sampai dimana dia berada, maqamat permulaan atau tingkat lanjut. Mujahadah adalah proses perjuangan latihan atau aktifitas lanjutan amaliah dilakukan penuh kesungguhan hati melawan dan menahan getaran hawa nafsunya.

 

Mujahadah juga berarti bersungguh hati melaksanakan ibadah dan senantiasa beramal shaleh, sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah swt yang sekaligus menjadi amanat serta tujuan diciptakannya manusia. Dengan beribadah, manusia menjadikan dirinya ‘abdun (hamba) yang dituntut berbakti dan mengabdi kepada ma’bud (Allah yang maha menjadikan) sebagai konsekuensi manusia sebagai hamba wajib berbakti (beribadah). Dan Imam Qusyairi menempatkanya dalam rangkaian maqomat atau madarij arba as-suluk. Sedangkan Abdul Wahab Sa’roni menempatkanya sebagai bagian dari adab al-murid finafsihi (etika murid terhadap diri sendiri)

 

Para ulama thoriqoh mendasarkan riyadhoh atau mujahadah ini pada banyak ayat al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw dan penuturan pengalaman para ulama tasawuf. Di antara ayat al-Qur’an yang mereka jadikan pegangan antara lain: Firman Allah dalam QS An Nazi’at ayat 40-41 dan QS Al-Ankabut ayat 69.

 

Adapun hadits yang dijadikan landasan adalah penegasan Rasululloh saw, yaitu tentang fungsi kerasulanya:

 

انما بعثت لاتمم مكارم الاخلاق

"Inna ma bu’itsu li utammima makarimal akhlak"

 

Artinya: Sesungguhnya aku diutus oleh allah hanya untuk menyempurnakan akhlak”. (HR Baihaqi dari Abu Hurairoh).

 

افضل الجهاد كلمة الدين عند سلطان جائر

"Afdolul jihad kalimatu adlin inda shultonin jaairin"

 

 Artinya: Jihad yang paling utama adalah mengemukakan kata keadilan di hadapan penguasa yang semena-mena”. (HR Abu Daud).

 

Mengemukakan keberanian di hadapan penguasa dzolim tentu membutuhkan keberanian dan tidak takut kecuali dengan Allah swt, sifat ini tidak mungkin menjelma bila kita masih dikuasai hawa nafsu dan cinta dunia. Oleh karena itu, mujahadah adalah sarana menunjukkan keta’atan seorang hamba kepada allah, sebagai wujud keimanan dan ketakwaan kepada-nya. Di antara perintah Allah swt kepada manusia adalah untuk selalu berdedikasi dan berkarya secara optimal, sebagaimana QS. 9:5.

 

Berbagai macam amalan dan usaha yang harus dikerjakan sebagai latihan (riyadhah), baik bertalian dengan jiwa atau hati (riyadhatun nafs). Semua ini menurut tata cara yang ditentukan di dalam gerakan–gerakan sufi yang dinamakan tarekat.

 

Abu Bakar Aceh, dalam karyanya, Pengantar Ilmu Tarekat Kajian Historis Tentang Mistik, mengatakan bahwa sebagai usaha menyingkapkan tabir yang membatasi diri dengan tuhan, oleh ahli tasawuf telah disusun suatu sistem yang dapat dipergunakan untuk riyadhatun nafs dalam rangka mencapai tujuan musyahadatillah. Sistem ini merupakan dasar didikan dalam riyadhah bagi para sufi pada tahap awal, yang semuanya tersusun dalam tiga tingkat yang dinamakan takhalli, tahalli, dan tajalli. Kehidupan ini acapkali dinamakan mujahadah, yaitu perjuangan dalam batin dan diri sendiri.

 

3. Muqarabah

Muqarabah, Secara bahasa berarti saling berdekatan (bina musyarakah) dari kata-kata qooraba yuqooribu -muqoorobah. Dalam pengertian ini, maksudnya adalah usaha-usaha seorang hamba untuk selalu berdekatan dengan Allah swt, yakni saling berdekatan antara hamba dan tuhannya. Upaya-upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah ini harus diiringi dengan nilai-nilai keikhlasan dan kesungguhan untuk mencapai ridha-nya, sebagaimana dalam QS. 98:5. Allah swt mewahyukan kepada Nabi Musa as dengan firman-Nya :

 

Wahai Musa, jika anda menginginkan aku lebih dekat kepadamu dari pembicaraan dengan lidahmu, dan dari bisikan hati menuju hatimu, ruh dengan badanmu, sinar penglihatan dengan matamu, dan pendengaran dengan telingamu maka perbanyaklah membaca sholawat atas nabi Muhammad saw.”

 

Orang-orang yang sholih selalu berusaha untuk ber-taqarrub dengan Allah swt. Untuk itu cara yang terbaik dalam mencapai martabat kedekatan kepada Allah ialah dengan tafakkur (meditasi).

 

Amalan ini sungguh sangat bermanfaat dalam rangka merenungi ayat-ayat Allah baik yang tersurat atau pun yang tersirat (kauniyah). Nabi saw pernah bersabda:

 

التفكر ساعة خير من عبادة سنة

Tafakkur sesaat itu lebih baik dari pada beribadat setahun.”

 

Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, dalam buku aslinya yang berjudul Sirr Al-Asror Fi Maa Yahtaaju Ilaihi Al-Baar, bahwa ada tiga perkara tentang tafakkur (meditasi) ini, yaitu antara lain:

 

Pertama, barang siapa ber-tafakkur tentang sesuatu hal dan menyelidiki sebabnya, maka ia akan mendapat setiap bagian dari hal itu mempunyai banyak bagiannya yang lain pula, dan setiap bagian itu menerbitkan banyak lagi hal-hal yang lain. Inilah tafakkur yang nilainya setahun ibadat.

 

Kedua, barang siapa ber-tafakkur tentang ibadatnya dan mencari sebabnya serta mengenal sebab itu, maka tafakkur-nya itu bernilai tujuh puluh tahun ibadat.

 

Ketiga, barang siapa yangtafakur tentang mengenal Allah dengan azam yang kuat untuk mengenal-nya, maka tafakkur-nya itu bernilai seribu tahun ibadat. Inilah ilmu hakiki.

 

Ilmu yang hakiki adalah suatu keadaan kesadaran atau perasaan tentang ke-esaan Allah meresap dalam diri dengan ber-taqarrub dengan Allah swt dari alam kebendaan terbang dengan sayap keruhanian ke alam tinggi, yaitu alam kesadaran rasa berpadu dengan allah yang maha kuasa. Penerbangan ini berlaku dalam alam batin atau dalam diri si ’arif yang peribadatannya dirasakan benar-benar di hadapan Allah swt. Mereka mendapat gelar ahli hakikat sebagai kekasih Allah.

 

Imam Al-Qusyairi, dalam kitab Al-Risalah Al-Qusyairiyah, bahwa taqorrub atau al-qurb diindikasikan dengan kedekatan hamba dalam ta’atnya dan disiplin waktu dalam ibadah-ibadahnya. Kedekatan hamba kepada tuhannya, mula-mula dengan iman dan pembenarannya. Kemudian kedekatannya melalui ihsan dan hakikat-nya. Sedangkan kedekatan al-haq saat di dunia ini didapati melalui ke-ma’rifatan.

 

Kita perhatikan hadits qudsi berikut ini: dari Abu Hurairah ra, ia berkata, rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah swt berfirman:

 

Barang siapa yang memusuhi seorang kekasih-ku, maka aku menyatakan perang kepadanya. Dan tiada mendekat kepada-ku seorang hamba-ku dengan sesuatu yang lebih aku senangi dari pada menjalankan sesuatu yang aku wajibkan, dan selalu seorang hamba-ku mendekat kepada-ku dengan melakukan sunnatsunnat, sehingga aku menyenanginya. Maka apabila aku telah mengasihi kepadanya tentu aku-lah yang menjadi pendengarannya yang ia dengarkan dengan itu, dan penglihatannya yang ia lihat dengan itu, dan sebagai tangannya yang ia gunakan, dan sebagai kakinya yang ia jalankan. Apabila ia memohon kepada-ku pasti aku ijabah, dan apabila ia memohon perlindungan kepada-ku maka aku beri perlindungan. Dan aku tidak berputar-putar (bolak-balik) dari sesuatu yang aku lakukannya. Adapun bolak-baliknya aku dari seorang mu’min adalah ia tidak suka kematian (su’ul khatimah), sedangkan aku tidak suka memburukkannya.”(HR. Bukhari).

 

Pada dasarnya hadis qudsi di atas menunjukan karakteristik kekasih Allah (waliyullah) sebagai hamba Allah yang selalu mendekatkan diri kepada-nya, baik melalui amal-amalan yang wajib maupun yang sunnah (yang dianjurkan).

 

Dalam konsep tasawuf, usaha mendekati tuhan itu dilakukan melalui beberapa maqamat (fase). Yang dimaksud di sini adalah kedudukan hamba di hadapan tuhan yang maha esa dalam amaliah ibadah, mujahadah, riyadhah, dan terputus dari selain Allah. Maqamat itu antara lain : taubat, wara’, zuhud, ridha, sabar dan tawakkal. Untuk itu segala panca indranya hanya ditujukan untuk Allah, sehingga amal perbuatannya berusaha untuk sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-nya, sebagaimana diunggah dalam QS. 59:7.

 

Menurut Imam Al-Qusyairi menyebutkan, bahwa kedekatan hamba kepada Allah swt tidak akan terwujud kecuali menjauhnya hamba dari makhluk. Predikat ini ada dalam hati, bukan hukum-hukum fiscal lahiriyah dan alam, sebagaimana yang tercantum dalam QS. 2:186; 50:16; 56:85; 57:4; dan 58:7.

 

4. Muraqabah

Muraqabah dalam makna harfiah, berarti awas mengawasi atau saling mengawasi (dalam ilmu shorof ini masuk dalam kategori bina musyarokah). Secara Bahasa muraqabah mengandung makna senantiasa mengamat-amati tujuan atau menantikan sesuatu dengan penuh perhatian (mawas diri). Sedangkan menurut terminologi berarti melestarikan pengamatan kepada Allah swt dengan hatinya dalam arti terus menerus kesadaran seorang hamba atas pengawasan Allah swt terhadap semua keadaannya, sehingga manusia mengamati pekerjaan dan hukum-hukum-nya dengan penuh perasaan yang melekat kepada Allah swt.

 

Dalam pandangan Imam Al-Qusyairy, muraqabah ialah: “Keadaan / kesadaran seseorang meyakini sepenuh hati bahwa Allah selalu melihat dan mengawasi kita. Tuhan mengetahui seluruh gerak-gerik kita dan bahkan segala yang terlintas dalam hati diketahui Allah”.

 

Muraqabah merupakan ilmu untuk melihat Allah swt. Sedangkan yang konsisten terhadap ilmu itu adalah yang mengawasi, menjaga, atau merasa dirinya selalu diawasi oleh Allah swt sehingga membentuk sikap yang selalu awas pada hukum-hukum Allah swt.

 

Oleh karena itu orang yang sudah ber-muraqabah dengan Allah dalam hatinya maka dirinya akan terhindar dari berbuat dosa secara kesadaran. Hal ini mengandung makna bahwa orang yang selalu bermuraqabah kepada Allah, pasti ia tidak mengerjakan dosa lagi, karena Allah telah menjauhkannya dari perbuatan dosa.

 

Seorang ahli tasawuf, Nasrabazdy berkata, dalam kitab Al-Risalah Al-Qusayriyyah, “Adapun harapan baik itu, adalah menggerakkan kamu supaya berbuat amal sholeh, khauf (takut) dan menjauhkan kamu dari maksiat. Adapun muraqabah, adalah membawa kamu ke jalan yang benar.” Nasrabazdy bermaksud bahwa muraqabah akan menuntun kita ke jalan yang benar dan menjauhkan dari dosa karena selalu merasa diawasi Allah.

 

Berbeda dengan orang munafik, ia takut diawasi orang lain, kalau tidak dilihat orang maka ia berani berbuat dosa. Sebagaimana dalam khalwat yang tujuannya adalah untuk selalu hati hadir dengan Allah swt maka dalam muraqabah merasa selalu dalam pengawasan Allah swt.

 

Dalam kaitan ini, orang yang tidak ber-muraqabah dengan Allah, tidaklah ia mempunyai pengawal pada kebenaran, dan pengawal yang ada pada dirinya hanyalah syaithan yang menjerumuskannya pada perbuatan ma’shuyat dan perbuatan dosa.

 

Tingkatan muraqabah:

1.       Muroqobatul qalbi, kalbunya selalu waspada dan selalu diperingatkan agar tidak keluar dari kebersamaannya dengan Allah.

2.       Muroqobatul ruhi, kewaspadaan dan peringatan terhadap ruh, agar selalu dalam pengawasan dan pengintaian Allah

3.       Muroqobatus sirri, kewaspadaan dan peringatan terhadapsirr agar selalu meningkatkan amal ibadahnya dan memperbaiki perilakunya.

 

Menurut M. Saifullah Al-Aziz, bahwa cara ber-muraqabah itu dapat dilakukan diantaranya dengan duduk bersimpuh di hadapan Allah swt dengan berdzikir dan menyatukan fikiran hanya ditujukan kepada sang maha pencipta setelah sebelumnya melaksanakan qiyamullail (sholat tahajjud, hajat, dan sunnah-sunnah lainnya) atau dengan cara sesudah wudhu’ duduk dengan pakaian bersih, duduk menekur di lantai masjid sambil berdzikir dengan lisan menunggu saatnya berhadapan dengan tuhan melaluidzauq dan bashiroh.

 

Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman:

 

Hai hambaku, jadikanlah aku tempat perhatianmu, niscaya aku penuhi pula perhatianmu itu. Dimana aku ada karena kemauanmu, maka engkau Itu berada di tempat jauh dari ku. Dimana kamu berada karena kehendakku (Allah) maka engkau itu berada di dekat aku. Maka pilihlah mana yang lebih baik pada dirimu!” (al-Hadits Qudsi)

 

Seorang ahli tasawuf berkata: “bahwa sesungguhnya, jauhnya seorang hamba dari tuhannya, hanya karena buruknya adab tingkah lakunya.” Muraqabah maksudnya adalah merasakan kesertaan Allah swt dalam setiap keadaan. Allah berfirman dalam surat Al-Syu’ara ayat 218-219.

 

Allah yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat) dan melihat pula perubahan gerak badanmu diantara orang-orang yang sujud.” (QS Al-Syu’ara ayat 218-219)

 

Ayat di atas menunjukkan bahwa setiap amal manusia tidak akan terlepas dari monitor Allah swt. Oleh karena itu, agar kita mencapai derajat taqwa dalam setiap amal yang kita lakukan mesti dibarengi dengan keyakinan bahwa Allah selalu memonitor, memperhatikan, dan mengawasi dalam segala ucapan, perbuatan, dan amal tingkah laku kita. (*Ubes Nur Islam dari berbaga sumber)

 

 

Comments

Popular Posts