MENCAPAI MARDHATILLAH DENGAN AL FAQR

 

MENCAPAI MARDHATILLAH DENGAN AL FAQR

 

Ubes Nur Islam

 

Alternatif & Solusi - Dalam fenomena kehidupan tasawwuf lainnya, ialah keadaan diri para salikin sebagai seorang yang fakir. Pada stasion ini, seseorang salikin berjuang agar dijauhkan oleh Tuhan dari hal-hal kehidupan yang gelamor, dan oleh karena itu, para salikin lebih memilih barang-barang sederhana dan hidup dalam kefakiran dan hidup qona’ah. Kefakiran ialah tahapan yang penting dalam kehidupan tasawwuf.

 


Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Dalam pandangan sufi fakir ini ada dua pengertian. Pertama, fakir dari semua kebutuhan material. Kedua, fakir dalam arti selalu berhajat dan berkebutuhan kepada rahmat Allah.

 

Dalam pengertian pertama, fakir  diartikan sebagai sikap tidak mencari dan berusaha lebih dari apa yang telah ada pada dirinya. Mereka tidak meminta rezeki,  kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Mereka mencari dan berusaha mendapatkan rezeki dengan upaya seperlunya, tidak meminta-minta kepada makhluk atau saudaranya, tapi kalau diberi diterima. Prinsip utamanya, tidak meminta, tetapi diberi tidak menolak.

 

Dalam pengertian kedua, berarti faqr itu selalu menyadari kebutuhan dirinya kepada Allah. Sejalan dengan pengertian ini, Kyai Achmad Siddiq, mengatakan bahwa al faqr ialah selalu menyadari kebutuhan dirinya kepada Allah. Maksudnya, seseorang tidaklah memiliki sesuatu yang bernilai atau sesuatu yang patut dibanggakan di hadapan Allah. Kekayaan, kekuasaan, kepandaian, bahkan ibadah yang dilakukan selama hidupnya tidak patut diunggulkan atau dibanggakan di hadapan Allah. Seandainya Allah tidak memberikan belas kasih-Nya, semua itu tidak akan ada nilainya sama sekali. Maka sepenuh hati menyadari akan ketergantungan dengan Allah, setiap saat bahkan setiap detik, dalam kondisi apapun. Inilah yang dimaksud al faqr dalam tasawwuf.

 

Kehidupan dalam maqam al faqr, sebenarnya, bukanlah menolak barang-barang material duniawi, atau hidup dalam ketiada beradaan, atau hidup miskin, tetapi al-faqr, adalah sebuah fenomena keadaan hati menyadari akan ketergantungan selalu dengan Allah, baik ia berada dalam kekayaan yang berlimpah maupun sedang keadaan tidak punya apa-apa atau miskin sekalipun. Seperti Nabi Sulaiman, walau ia dikaruniai kekayaan berlimpah, harta benda yang banyak, ratusan wanita-wanita yang cantik sebagai istrinya, dan tahta kerajaan, bahkan menjadi raja diraja, atau pemimpin dua bangsa, bangsa manusia dan bangsa jin, hewan darat, laut, dan udara, tetapi ia hidup dalam kefakiran kepada Allah, hidup dalam berkebutuhan akan rahmat Allah, ia selalu memohon pertolongan dari Allah, dan ia selalu meminta ampunan kepada Allah, bahkan ia lebih banyak memuji-muji dan bersyukur akan karunia dari Allah, dan lebih dari itu, ia lebih menikmati bersanding bersama Allah.

 

Seandainya ada seorang sufi yang menjalani hidup dalam kemiskinan, ini bukan berarti jiwanya miskin papa dan berkebutuhan dan mendambakan terhadap barang-barang material yang berlebihan, akan tetapi ia hidup miskin sebagai latihan kondisi untuk tidak memuati diri jasmani dan ruhaninya dengan barang-barang yang menjebak dirinya jauh dan lupa dari Allah, dan juga tidak terlena mencintai barang-barang duniawi dalam ruhaninya. Ia hidup dalam keadaan miskin ini, karena dalam rangka melatih bagaimana membangun kecintaan dan mahabbah kepada hal-hal keindahan rahmat Allah dan janji-Nya. Ia terlena dalam kecintaan anugrah yang melimpah, baik spiritual, intuisi, dan jelajah nikmat karunia yang didapatnya selama perjalanan thariqahnya. Ia lebih sibuk memohon nikmat dan anugrah hidup spiritual bersanding bersama Allah.

 

Kehidupan bersanding bersama Allah merupakan anugrah kekayaan yang tiada bandingnya. Tentulah kehidupan dalam level ini merupakan hidup kaya raya yang hakiki. Sementara kehidupan kaya dengan berlimpahnya barang-barang fisik material merupakan belenggu baginya, dan akan menghalangi dirinya dari kesibukan bersama Allah, dan ini berarti hanya kekayaan relatif dan nisbi. Dan kondisi ini akan merepotkan dan menyusahkan kehidupan jasmani dan ruhaninya, kondisi tersebut akan menyudutkan ke arah menjadi miskin hakiki, yakni terlempar jauh dari sisi Allah, apalagi jika harta kekayaan tersebut dikelola dengan salah arah atau salah kelola, tentulah menjadi siksaan baginya. 

 

Terkait ini Allah berfirman dalam surat al-Kahfi.

 

والباقيات الصالحات خير عند ربك ثوابا وخير املا (الاية)

“Jejak langkah yg positif (ladang amal sholeh / kreatifitas produktif)

adalah sebaik-baiknya tsawab (kekayaan) di sisi Allah,

dan sebaik-baiknya cita-cita hidup (bagi kita)”.

 

Latihan Faqr (kemiskinan) berpedoman kepada Nabi Muhammad SAW, dimana kehidupan beliau diselimuti oleh menjauhkan diri dari barang-barang materialistik dan beliau selalu berdekatan bersama Allah sambil memohon kepada Allah tentang kebaikan kehidupan yang sama di dunia dan diakhirat secara seimbang. Berikut ini beberapa doa Nabi Muhammad SAW.

 

اللهم احينى مسكينا وامتني مسكينا واجعلني مسكينا -----

“Ya, Allah, hidupkan aku dalam kemiskinan,

matikan aku dalam kemiskinan,

dan jadikan aku seorang yang miskin

(yang selalu butuh berdekatan dengan-Mu)”

 

ربنا اتنا فى الدنيا حسنة وفى الاخرة حسنة وقنا عذاب النار

“Wahai Tuhan Kami,

anugrahilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat,

dan jauhkan kami dari kehidupan yang susah dan menyiksa

(di dunia dan akhirat)”.

 

Comments