MENCAPAI MARDHATILLAH DENGAN AL WARA’

 

MENCAPAI MARDHATILLAH DENGAN AL WARA’

 

Ubes Nur Islam

 

Alternatif & Solusi -Dalam fenomena kehidupan tasawwuf lainnya, ialah seringkali kita dengar istilah ‘wara’. Pada stasion ini, seseorang salikin berjuang agar dijauhkan oleh Tuhan dari hal-hal dan barang-barang syubhat. Kata al wara’ dapat diartikan sebagai selektif dalam kesalehan, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Selanjutnya, dalam pandangan orang sufi, wara’ memiliki arti meninggalkan semua hal yang di dalamnya mengandung keraguan antara halal atau haram (syubhat).  Syubhat itu sendiri lebih dekat kapada sesuatu yang haram. Seperti dalam hadis,

 

 “Barang siapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah terbebas dari yang haram.”(HR. Imam Bukhari).

 

Makanan, minuman, pakaian, ataupun yang lainnya, bagi salikin atau kaum sufi, jika ada mengandung haram akan berpengaruh dalam prosesnya menuju Allah. Sebab, orang yang telah mengkonsumsi hal semacam ini akan keras hatinya, sehingga akan sulit mendapat hidayah dan ilham dari Tuhan.

 


Halal, haram, dan syubhat diibaratkan seperti rambu-rambu lalu lintas. Sungguh tak terbayangkan bagaimana jadinya jika manusia berjalan di jalan raya yang ramai tidak ada rambu-rambu. Tentu akan terjadi kekacauan, sebab tidak ada petunjuk mana pertanda yang boleh lewat duluan dan mana yang harus berhenti. Begitulah pula dengan persoalan makanan dan minuman, kita juga memerlukan petunjuk rambu-rambu.

 

Sebuah analogi, jika lampu hijau merupakan hal yang halal atau makanan dan minuman yang boleh dimakan. Kemudian lampu merah sebagai tanda haram, maka kita wajib berhenti, tidak boleh mengkonsumsinya. Selanjutnya lampu kuning, menjadi tanda dari hal-hal yang makruh, maka di sini kita harus berhati-hati. Adapun orang yang wira’i pasti akan lebih memillih berhenti saat lampu kuning sudah menyala. Sedangkan orang yang nekat, jangankan lampu kuning, lampu merah saja ia terjang. Jangankan syubhat, haram saja ia konsumsi.

 

Sikap wara’ sangat dianjurkan, namun demikian, jangan sampai seseorang terkena ghurur (tipu daya setan), sikap wara’ yang ekstrim. Sebab kadang ada seseorang yang merasa menjadi seseorang wara’, dia lalu bersikap ekstrim. Semua barang seolah selalu dipertanyakan kehalalannya. Misalkan, ada makanan atau minuman yang jelas-jelas halal, baik zatnya, cara pembuatan atau proses mendapatkannya, tetapi karena ekstrim (ghuluww) dalam memahami sikap wara’, ia lalu tidak mau mengkonsumsi makanan atau minuman tersebut. Sikap wara’ seperti ini dalam saat yang bersamaan dapat menjebak seseorang bersifat ujub dan riya’. Nafsu keegoisan yang mendasari keinginan untuk menjadi orang wara’ menjadi tidak seimbang, tidak adaptif dan tidak logis, yang pada akhirnya, sikap waranya menjadi fitnah bagi dirinya dan penuntun yang menyesatkan.

 

Dunia saat ini, kita semua dan termasuk seorang salikin, sedang menghadapi tantangan kehidupan terbaru, zaman modern atau postmo modern. Tentunya, globalitas dan modernitas ini secara langsung atau tidak langsung akan membawa dampak negative. Termasuk di dalamnya, sikap dan gaya hidup yang materialistik dan hedonistic telah menjadi kehidupan yang tidak bisa dihindari. Oleh karena itu manusia harus memiliki prinsip yang kuat dalam hidup.  Adalah, sikap wara’ ini bisa menjadi tameng kita, sebagai manusia dalam menghadapi kehiduapn di zaman modern ini. Dengan adanya sikap wara ini, nanti seseorang akan mempunyai kakuatan batin yang bagus. Selain itu, sikap wara’ juga menumbuh kembangkan kemampuan pengetahuan dari muatan sebuah produk dan sekaligus mengetahui nilai dan manfaatnya.

 

Muhammad Luqman Hakim, dalam majalah sufi edisi ke 29 Januari 2004, menuliskan, bahwa manfaat sikap wara’ adalah sebagai berikut:

 

Wara’ menumbuhkan sifat kesatria, kejujuran, kesahajaan, kesederhanaan, dan sikap sosial yang positif. Wara’ akan menjauhkan sifat israf (berlebihan), egoisme, meterialisme (ambisi materi), dan kesombongan. Wara’ mendorong seseorang menjadi hamba Allah yang merdeka dari kepentingan selain Allah, karena hakekat wara’ adalah sikap waspada terhadap segala hal selain Allah. Wara’ mengantarkan seseorang untuk bersikap tulus ikhlas dalam beramal kepada Allah. Karena tanpa wara’, ibadah kita akan menyimpang dari nilai-nilai keikhlasan. Wara’ menghilangkan sikap kepura-puraan, kemunafikan, basa-basi, dan membebaskan dari penjara hawa nafsu kita. Wara’ adalah awal dari ketaqwaan seseorang.

 

Selanjutnya, wara’ akan mengantarkan seseorang untuk terus menerima dan memandang Allah dalam setiap hal yang halal. Sehingga wara’ juga mendorong manusia untuk terus menerima bersyukur, sebab di balik yang di pandang ada nama Allah.

 

Terkait dengan sikap wara’,Abu Hurairah, seorang sahabat nabi, pernah mengatakan, “orang-orang yang berada di mejelis Allah adalah harus ahli wara’ dan zuhud.”

 

Dengan demikian, sikap wara membuat seseorang tidak suka berbuat aniaya dan dzalim, ia senantiasa berbuat adil, proposional, dan wajar serta menjauhkan diri dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), dan pada akhirnya, sikap wara menjadi hamba yang selalu bersyukur kepada Allah atas nikmat dan karunia yang didapatnya.

 

Comments