MENCAPAI MARDHATILLAH DENGAN HIDUP ZUHUD
MENCAPAI
MARDHATILLAH DENGAN HIDUP ZUHUD
Ubes Nur Islam
Alternatif & Solusi - Hidup dalam fenomena kehidupan tasawwuf, seringkali kita dengar
istilah ‘hidup zuhud’. Hidup zuhud seringkali dimaknai sebagai kehidupan anti duniawi, atau kehidupan dengan
menolak hal-hal materialistik. Makna tersebut terlihat dan terlalu radikal,
baiklah kita lihat pada makna dalam pandangan para pakar ulama lainnya.
Menurut filsuf dan ilmuan muslim dari Indonesia, Profesor Dr. Harun Nasution, secara harfiah, zuhud berarti tidak berkeinginan kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Zuhud, artinya keadaan meninggalkan dunia dan meninggalkan hidup kematerian. Sebagaimana asal kata dari zuhud, ialah zahida yazhadu zuhdan, yang artinya membenci sesuatu. Dengan demikian orang dikatakan zuhud, apabila ia mau mempersiapkan diri mencari bekal untuk hidup di akhirat, berpegang teguh dengan agama, dan terus menerus menjalankan ketaatan kepada Allah.
Zuhud, sesungguhnya, tidak
harus dengan meninggalkan dunia sepenuhnya, melainkan sikap hati yang tidak
terlalu sibuk dan suka dengan dunia, sehingga lupa akan kehidupan akhirat.
Banyak orang kaya raya, namun mereka sangat zuhud. Contohnya Nabi Sulaiman,
meskipun ia kaya raya, namun ia dikenal dengan dengan sebutan azhaduz zahidin
atau orang yang paling zuhud diantara orang-orang zuhud. Beliau makan makanan
yang sederhana, sementara dirinya memberikan makanan yang enak kepada
rakyatnya.
Zuhud adalah maqam lawatan
para salikin dalam merambah perjalanan thoriqohnya. Maqam ini adalah stage yang
penting dalam dunia kehidupan tasawwuf. Seperti maqam lainnya, fakir, sabar, dan
wara, maqam zuhud merupakan level maqam anak kunci untuk menaiki level
berikutnya. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan seseorang untuk sampai pada
maqam zuhud ini, diantaranya:
Menyadari dan menyakini bahwa, dunia ini sebagai
kehidupan yang fana. Pada saatnya manusia akan meninggalkannya. Selain itu ia
juga harus yakin bahwa dirinya pasti akan pindah ke alam baka, yakni akhirat,
Menyadari dan menyakini bahwa, dibelakang dunia ini ada
akhirat yang jauh lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa,
Banyak mengigat mati, agar hati menjadi lembut dan
hidupnya lebih berhati-hati. Sebab setelah meninggal dunia manusia akan ditanya
dan mempertanggung jawabkan semua amal perbuatannya,
Mengkaji sejarah perjalan hidup para nabi, sahabat, atau
orang-orang shalih, dimana mereka adalah orang-orang zuhud, kemudian meneladani
sikap perilaku mereka.
Seseorang yang sampai pada
maqam ini adakalanya dengan mengasingkan diri dan uzlah ke tepat terpencil
untuk beribadah. Seperti sholat, puasa, membaca Al Qur’an, maupun berdzikir.
Orang tersebut hanya makan dan minum untuk bertahan hidup saja. Menyedikitkan
tidur dan memperbanyak ibadah, bahkan pakaian juga sederhana. Sehingga orang
tersebut sudah tidak tergoda oleh kehidupan dunia. Apabila orang tersebut sudah
keluar dari pengasingannya, maka ia masih tetap melakukan hal-hal layaknya di
tempat pengasingannya. Ia tetap berpuasa, melakukan sholat, membaca AL Qur’an
maupun berdzikir secara istiqamah, dalam rangka mencapai hidup penuh dalam
keridhaan Allah.
Kehidupan mereka hanya
membangun keistiqamahan dalam naungan Allah, menjalankan laku bertaqorrub dan
bermuraqabah kepada Allah, dengan amaliyah-amaliyah yang ditentukan oleh
mursyidnya. Dengan keuletan dan ketekunan mengerjakan suatu amaliyah tersebut,
serta tahan dari berbagai cobaan dan berbagai kesulitan, sehingga terbagun
dalam diri pribadinya sebuah karakter tangguh dan pemberani menghadapi segala
hal dari berbagai fenomena kehidupan.
Kekuatan dan keteguhan prinsip hidup menjadi perisai dalam berbagai
gerak hidupnya. Pribadi model ini sungguh disinggung dalam al-qur’an,
sebagaimana dalam firman Allah.
ان الذين قالوا ربنا الله ثم استقاموا فلا خوف عليهم ولاهم يحزنون
“sesungguhnya
orang-orang yg berkata,
tuhan kami adalah
Allah kemudian mereka beristiqamah,
mereka akan
dijamin dari rasa takut dan rasa sedih”
Seseorang menekuni sesuatu
pasti dengan tekun, ulet, pantang menyerah, optimis, berani mengahadapi semua
resiko, dan terus menurus berjuang istiqamah dalam program dan cita-citanya,
tentu akan memperoleh keberhasilan sejati. Istilah memperoleh keberhasilan
sejati ini, dalam al-qur’an disebutnya sebagai maan ghodaqon (air segar).
Sebagaimana Al-qur’an mengatakan.
وان لو استقاموا على الطريقة لاسقيناهم مائا غدقا
“Apabila mereka
berstiqamah menangani sesuatu,
maka kami akan
memberikan minuman segar kepada mereka”.
Pengertian dari ayat ini dapat
dirinci sebagai berikut: استقاموا berarti : menekuni
kelakuan dan aktifitas sesuatu yang pasti dengan tekun, ulet, pantang menyerah,
optimis, berani mengahadapi semua resiko, dan terus menurus berjuang istiqamah
dalam atifitas program dan cita-citanya, على
الطريقة berarti : media dan sarana untuk beratifitas menjalankan
program amaliyah zuhud yang bersifat ukhrawiyah, berupa zikir thoriqah dengan
riyadhoh, mujahadah, muraqabah, muqorabah, atau aurod-aurod yang dianjurkan
oleh mursyidnya, untuk dijalankan kepadanya, لاسقيناهم
berarti : kucuran nikmat yang berlimpah dari Allah, yakni Allah memberikan
anugrah nikmat keutamaan spesifik dan khas kepadanya.
Dan مائا
غدقا adalah kalimat
metafora, yang bisa yang bermakna: sebuah air minuman yang segar, sejuk,
nikmat, dan menyegarkan. Ini bisa jadi berupa, ahwal yang produktif dari
perjalanan berat amaliyahnya, atau yang disebut karomah kewaliyan, atau
kemampuan hebat yang disandang untuknya, sebagai titik mangsa naiknya level kehambaan
diri kepada Allah (ibadur rahman, hamba yang disayangi Allah).
Pada maqam zuhud ini,
sebagaimana disinggung di atas, para salikin biasanya melakukan uzlah. Uzlah,
artinya mengasingkan diri dari keramaian dan kesibukan dunia, untuk
berkonsentrasi hanya terhadap ibadah kepada Allah. Dalam hidup pengasingan diri
ini adakalanya dengan berpererinsip kepada hidup tajrid dan adakalanya masih
dalam perinsip hidup asbab. Hidup berperinsip tajrid maksudnya, yakni upaya
perjalanan kehidupan hanya menggantungkan diri bertawakkal kepada Allah, baik
kebutuhan makan, minum, tidur, dan kebutuhan lainnya. Mereka, untuk mendapatkan
barang-barang material dan kebutuhan jasmaninya tidak lagi bergantung dan
berusaha secara dunia, melainkan dengan cara berpasrah diri dan bertawakkal
kepada Allah saja.
Sementara, hidup dalam
perinsip asbab, ini artinya adalah kehidupan yang berada dalam antara ibadah,
kepentingan ukhrawi dan kepentingan duniawi sama-sama masih diusahakan dan
diperjuangkan dengan cara biasa dan seimbang (usaha ukhrawi dan usaha duniawi),
yakni untuk mendapatkan barang-barang material dan kebutuhan jasmaninya masih
berusaha, masih berdagang atau bertani, atau usaha duniawi halal lainnya,
sesuai syariat islam.
Ada sebuah konsekwensi, bagi
mereka yang sudah hidup di maqam tajrid, disarankan jangan pindah lagi ke maqam
asbab, melainkan mengahabiskan umurnya di maqam tajrid. Sebab kalau kembali ke
maqam asbab, nilai kesupiannya akan turun. Sebaliknya, bagi mereka yang masih
di maqam asbab, jangan punya pikiran untuk pindah ke maqam tajrid, sebab kalau
pindah, merupakan musibah besar, karena hal ini merupakan hidup syahwati, yang
didalamnya ada ajakan setan, yang perlu dijauhi. Sebagaimana Ibnu Athoillah
menyinggung hal ini dalam kitab al-Hikam-nya, dia menyatakan:
ارادتك التجريد مع اقامة الله اياك فى الاسباب من الشهوة الخفية
وارادتك الاسباب مع اقامة الله اياك فى التجريد انحطاط من الهمة
العلية
“Keinginanmu dalam
tajrid,
sementara Allah
masih memposisikan engkau di dalam asbab,
merupakan syahwat
khofi.
Dan sebaliknya,
keinginanmu kepada asbab,
padahal Allah
sudah menegakkan engkau dalam tajrid,
merupakan
kejatuhan dari himmah yang tinggi.”( al-Hikam).
Jadi hidup zuhud bisa dalam
keadaan dua hal, bisa dalam posisi asbab, jika kelas salik masih dalam posisi
dan level asbab. Dan yang kedua bisa dalam posisi tajrid, jika sang salik sudah
melawat level tinggi, yakni level tajrid, maka hendaknya ia berposisi dalam
level tersebut.
Comments
Post a Comment