MENCAPAI MARDHATILLAH DENGAN KHAUF’

 

MENCAPAI MARDHATILLAH DENGAN KHAUF’

 

Ubes Nur Islam

 

Alternatif & Solusi - Hidup dalam fenomena kehidupan tasawwuf, seringkali diliputi oleh berbagai hal dan ahwal, yakni fenomena keadaan mental, seperti: perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya. Hal atau ahwal ini merupakan perasaan yang menggerakkan dan mempengaruhi hati yang disebabkan karena bersihnya jiwa dan efek pengaruh dari  berdzikir.

 

Kemudian dalam ilmu tasawuf, kita dengar istilah ‘khauf’. Khauf, dalam kajian tasawuf yakni perasaan takut karena dihantui oleh rasa berdosa serta ancaman yang akan menimpa dirinya. Dengan begitu, orang tersebut akan senantiasa melakukan dzikir dan berdoa agar terlindung dari adzab-Nya. Ketika rasa takut ini telah menetap dalam dirinya, maka ia akan bisa mengendalikan nafsu. Rasa takut ini sangat berperan dalam diri seseorang, sebab bisa menjadikan dirinya senang dan damai. Konsep khauf lebih awal diformulasi oleh Hasan Al-Bashri, seorang sufi yang hidup sejaman pada pemerintahan Raja Umar bin Abdul Aziz.


 

Hasan al-Bashri, ia seorang yang paling terbenam dalam khaouf atau kedukaan dan kekhawatiran yang sangat dalam. Seolah-olah api neraka diciptakan khusus untuk dirinya dan umat-umat (manusia pada umumnya). Ajaran dan peringatannya yang diciptakan dalam bahasa Arab yang merdu, mempengaruhi sejumlah besar orang beriman di Irak dan tempat-tempat lain.

 

Selain itu, keseksamaan Hasan Basri terhadap rasa khouf (ketakutannya) akan hari kiamat tercermin dalam ucapan-ucapan orang muslim sezamannya atau zaman sesudahnya yang mengungkapkan, ketika memikirkan tentang kemurkaan Tuhan dan hidup mereka sendiri yang penuh dosa. “Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah,” satu ucapannya yang fenomenal.

 

Dalam diri Hasan al-Bashri dan para pertapa pengikutnya terdapat kecenderungan “kritik yang realistis” yang berlawanan dengan “tradisi realistik” yang ada di Kuffah, tempat kelompok syi’ah dan kota tempat tinggal Abu Hasim, orang pertama yang disebut al-sufi. Memang benar kecenderungan pertapa pertama di Bashrah dan sekitarnya, hampir sepenuhnya bersifat pengabdian saja dan kurang tertarik pada pemikiran spekulatif, sebagai kontras terhadap kemewahan hidup yang semakin berkembang.

 

Pada wanita dan lelaki dalam kelompok ini menganjurkan pengunduran diri dari dunia dan seisinya untuk bergantung pada apa yang disabdakan Nabi, “Seandainya kau tahu apa yang aku ketahui, kau akan tertawa sedikit saja dan akan menangis sebanyak-banyaknya.”

 

Karena itulah mereka dikenal sebagai al-Bakkaun, orang-orang yang senantiasa menangis, sebab keadaan dunia yang menyedihkan dan renungan tentang kekurangan diri sendiri menyebabkan menangis dengan harapan mendapatkan pertolongan dan ampunan Illahi.

 

Ibn al-Rumi, penyair Irak abad ke-9 telah menggambarkan mereka itu secara dramatis dalam salah satu sajaknya, dan Kharaqani pada abad ke-11, menegaskan bahwa : “Tuhan suka akan tangis umatnya”.

 

Dari ucapan sebagian asketis (kaum sufi) Bashrah, tentang asketisme (ketasawwufan), tampak bahwa ucapan mereka berkisar pada rasa takut yang menimbulkan perbuatan keagamaan secara lurus, dari keterpanggilan dari kelezatan dunia, baik dalam makan dan minum sekedarnya dan tindakan-tindakan lain, yang tidak keluar dari batas-batas keasketisan Nabi dan para sahabat beliau.

 

Para sufi kelompok ini sering menyamakan “pemerintah” dengan “kejahatan”. Madinah kota Nabi merupakan satu pusat kaum konserpatif yang beriman. Kelompok-kelompok lain tinggal di permukiman-permukiman muslim yang baru di Irak, satu propinsi yang di dalamnya kecintaan terhadap keluarga Muhammad sangat kuat dan bersikap memusuhi Syiria, yakni tempat para penguasa Umayah mendirikan ibu kotanya.

 

Awal sikap pertapa dan anti pemerintahan adalah “kepala keluarga” tasawuf muslim Hasan al-Bashri, ia banyak menyaksikan tragedi-tragedi dalam sejarah umat Islam, penaklukan-penaklukan gemilang bangsa Arab pada tahun 711 M. Tahun kenangan ketika mereka menyebrangi selat Jiblartar, dan ketika juga mereka sampai Sind lembar indos hilir, dan meletakan dasar bagi pemerintahan muslim yang masih berlanjut sampai menjadi Pakistan sekarang ini.

 

Pada tahun 711 M. itu juga kaum muslimin mencapai perbatasan Tranxoksania, yang akhirnya menjadi pusat penting bagi pengetahuan dan keimanan muslim. Namun Hasan Bashri yang bijak dan berpandangan jelas, merasakan adanya bahaya dalam masyarakat yang telah menjadi sangat dalam penaklukan saja, dalam pengumpulan barang dan kekayaan duniawi, sementara melupakan sabda Al-Qur'an “Semua yang ada di bumi akan binasa”

 

Ia biasa memperingatkan murid-muridnya untuk hidup ketat menuruti aturan yang telah ditetapkan Al-Qur'an agar mereka tidak menanggung malu waktu kiamat.

 

“Hai anak Adam kau akan mati sendirian, masuk ke kubur sendirian dan akan dibangkitkan sendirian dan sendirian pulalah kau nanti akan meneriman perhitungan, mengapa harus begitu memperdulikan dunia yang akan lenyap ini?  Bersikaplah terhadap dunia ini seakan-akan kau belum pernah berada di sini, bersikaplah terhadap akhirat seolah-olah kau tak akan meninggal-kannya”.

 

Sebagian dari butir hikmah ajaran Hasan al-Bashri tertulis sebagai berikut:

a)            “Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tentram, lebih baik dari perasaan tentrammu yang kemudian menimbulkan takut”.

b)            “Dunia adalah negeri tempat beramal, barang siapa bertemu dengan dunia dengan rasa benci kepadanya dan zuhud, akan berbahagialah dia dan memperoleh faedah dalam persahabatan itu. Tetapi barang siapa yang tinggal dalma dunia, lalu hatinya rindu dan tersangkut kepadanya akhirnya ia akan sengsara. Dia akan terbawa pada satu masa yang tidak dapat diterimanya”.

c)            “Tafakkur membawa kita pada kebaikan dan berusaha mengerjakannya, menyesal akan perbuatan jahat, membawa pada meninggalkannya. Barang yang fana walaupun bagaimana banyaknya, tidaklah dapat menyamai barang yang baqa, walaupun sedikit. Awasilah dirimu dari negeri yang cepat datang dan cepat pergi ini, dan penuh dengan tipuan”.

d)            “Dunia ini laksana seorang perempuan janda tua yang telah bungkuk, dan telah banyak kematian laki”.

e)            “Orang yang telah beriman berduka cita pagi-pagi dan berduka cita di waktu sore. Karena dia hidup di antara dua ketakutan. Takut mengenang dosa yang telah lampau, apakah gerangan balasan yang akan ditimpakan. Tuhan, dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal, dan takut bahaya apa yang sedang mengancam”.

f)             Tentang duka cita beliau berkata : “Patutlah orang insyaf bahwa mati sedang mengancamnya, dan kiamat menagih janjinya, dan dia mesti berdiri di hadapan Alalh akan di hitung”.

g)            “Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal shaleh.”

 

Pesan Hasan al-Bashri, yang bisa dipandang sebagai tipikal masa awal kezuhudan, pesan tersebut termasuk pada lembaran-lembaran suratnya kepada sahabat mulianya, Umar bin Abdul Aziz, sebagai berikut:

 

”Waspadalah terhadap dunia ini, ia seperti ular, lembut sentuhannya dan mematikan bisanya, berpalinglah dari pesonanya. Sedikit terpesona anda akan terjerat olehnya. Bukankah anda lihat kejahatannya dan anda tahu benar anda akan dipisahkan darinya? Tabahlah dalam menghadapi kekerasannya, maka akan lapanglah  jalan anda, kian ia mempesona, kian waspadalah anda, karena manusia di dunia ini, begitu terpesona dan sujud kepadanya, serta merta dunia akan menghempaskannya, ingat waspadalah terhadap dunia ini, pesonanya lancang, dan di situlah anda terancam bahaya, yang berupa kesenangan semu, bencana mendadak, duka cita atau nasib malang.”

 

Berabad-abad kemudian, kata-kata ini masih bergema di dalam syair-syair yang ditulis dalam bahasa Parsi, Turki dan Pashto. Kemudian, Rasa takut ini menjadi salah indikasi diantara fenomena ahwal yang sangat penting dan berperan dalam pembentukan karakter asketis atau hidup tasawwuf, diri seseorang sufi, sebab rasa takut (khouf) bisa menjadikan dirinya senang dan damai mencapai perjalanan mardhatillah.

Comments